Kamis, 22 November 2012

Salam Sepotong Roti




Mulut bocah itu terperot-perot menahan air liur agar tak tumpah keluar. Mata beningnya tajam menatap sebuah pajangan. Pajangan yang terbuat dari kaca tanpa lis di siku-sikunya. Rapi sekali semua siku pajangan itu. Tampak seolah tanpa sambungan sama sekali. Pajangan itu juga sangat bening hingga tak nampak sebagai penyekat antara barang yang tertata di dalamnya dengan mata yang memelototinya. Termasuk mata bocah itu. Seorang penjaga dengan lap di tangan selalu pada posisi siap siaga. Begitu setitik noda mampir dan tertinggal di kaca itu, secepat kilat dia berlari. Dia lap kaca itu hingga kembali seolah tak terlihat. Saking bersihnya.

Penjaga toko itu, ah begitu pinternya si pemilik toko roti itu menemukannya. Dia lebih pantas duduk di belakang meja. Duduk dengan dasi menggantung di leher. Kulit tubuhnya begitu bersih. Rambut mengkilap klimis. Menjadi begitu konyol menyaksikan anatomi tubuh yang begitu bagus itu, harus menenteng lap di tangan. Memakai topi koki dan memakai celemek. Anomali itu menjadi semakin komplit dengan peran senyum dan sapa basa-basinya. “Selamat siang, silakan Ibu ...” katanya sambil membukakan pintu yang kesemuanya juga terbuat dari kaca itu. Sapa yang selalu diiringi dengan senyum ramah. Meski semua itu tak digubris oleh orang yang disapanya. “Terima kasih telah mengunjungi toko kami Bu ...” katanya lagi menutup prosesi transaksi mereka yang mendatangi toko itu. Tak peduli setinggi gunung beban di hati. Tak peduli nafasnya hampir terhenti mikir angsuran kredit motor yang sudah jatuh tempo. Mulutnya harus selalu menyemburkan senyum dan sapa ramah tamah. Hebat!

Mata bocah itu seakan begitu enggan kala harus menggesernya lepas dari sepotong roti di dalam kaca itu. Sepotong roti berbalut wijen, dengan isi daging dan taburan coklat serta keju di atasnya. Di raut wajahnya terlintas sebuah kepasrahan. “Ah, seperti apa ya rasanya ...” demikian kira-kira harapannya. Membayangkan kala roti itu masuk ke dalam mulutnya dan mengirimkan sinyal-sinyal kelezatan ke seluruh syaraf perasanya.
Tak sadar tangannya memencet-mencet saku bajunya. Mencoba menaksir jumlah sisa recehan hasil jerihnya kemarin. Sampai kapan kiranya jumlah uang di sakunya itu kuasa menebus sepotong roti itu.

“Hei, jangan di situ mengganggu orang yang mau masuk toko!!” teriak penjaga toko itu kepada si bocah. Lenyap dalam sekejap segala keramahannya. Berganti dengan lukisan kemurkaan yang memenuhi wajahnya. Seolah menemukan pelampiasan. Alamiah sekali kegusarannya meluncur deras dari mulutnya. Sangat berbeda atmosfirnya dibanding ketika keramahan yang keluar dari mulutnya. Keramahan basa-basi itu!

Kokoh bergeming sepasang kaki mungil itu. Sungguh luar biasa hasrat di hati bocah itu. Hasrat yang mampu memompa air liur deras meronta. Mampu mengalahkan perintah logika otak. Mampu mengesampingkan segala himpitan yang mencoba menghalanginya. Gerimis pagi yang semakin rapat temani air liur yang semakin berat.

“Anak gendheng! Adik-adikmu menunggu di rumah menahan lapar tuh!!” teriak seorang perempuan paruh baya. Di tangannya, di sela-sela jari tengah dan telunjuknya, terselip sebatang rokok yang tinggal setengah. Bocah itu kaget setengah mati. Secepat kilat dia berlari. Berlari membawa harapannya ke perempatan lampu merah tak jauh dari toko roti itu. Sekam hasrat membara di hati anak itu bagai tersiram air. Padam seketika. Adalah ibu dari bocah itu sendiri yang memadamkannya. Alih-alih mewujudkan harapan itu.

“Anak kurang ajar, suruh bantu maknya malah semaunya sendiri ...” semakin ngawur ocehan si ibu.
Si penjaga toko tersenyum menyeringai. Tugasnya selesai dengan sendirinya. Perlahan dia mendekat ke kaca di mana bocah itu tadi berdiri. Hati-hati dia mengelap sisa uap air dari mulut si bocah yang tertinggal di kaca itu. Pelan, diulang lagi dan lagi, sampai kaca itu hampir tak terlihat. Saking bersihnya. Puas hati, dia kembali ke balik pintu, tersenyum. Siap menjual keramahannya lagi.

***
 
Siang itu, mentari tak kuasa melakonkan seluruh perannya sampai tuntas. Mendung tebal hitam membekap kegagahan sang surya menyirami bumi dengan cahayanya. Bocah di toko roti itu bersiap hendak meninggalkan perempatan lampu merah kala uap air mendung tak kuasa lagi menahan gravitasi bumi.
Persis di depan toko roti itu, hujan tak bisa lagi diajak berkompromi. Dia arahkan tubuhnya ke emperan toko. Bukan menatap hujan, berharap lekas menghilang. Dia malah membelakangi hujan di depan toko itu. Menatap sepotong roti yang terus mengusik hidupnya itu.

“Seandainya saja hari ini Emak membolehkan aku menggunakan seluruh uangku ...” batinnya yang secepat kilat terhapus wajah dua adiknya yang selalu menanti kedatangannya. Menanti dia datang untuk kemudian tertawa-tawa bersama menuju warung Mbah Marno tetangganya. Dan seperti biasa, pecah keriuhan tawa mereka selepas pulang dari warung itu. Tawa kebersamaan mereka. Tawa yang semakin keras terdorong jajanan di tangan mereka. Jajanan seharga limaratus rupiah.
Sebenarnya cukup. Lebih dari cukup uang bocah itu untuk ditukar dengan roti lembut di depannya itu. 

“Seandainya saja Emak .... ah biarlah, mungkin Emak saja yang belum dapat kerjaan. Nanti kalau Emak sudah kerja, aku pasti diijinkan memakai uangku untuk membeli roti itu ...”

Di dalam toko, seorang perempuan cantik luar biasa terus memperhatikan si bocah. Sebentar dia mengamati roti-roti itu, sebentar dia melirik ke arah bocah itu. Senyum tersungging di bibirnya yang selalu basah . Tiba-tiba dia letakkan beberapa potong roti yang telah ada di tangannya. Dia keluar dari pintu kaca itu, menghampiri sang bocah.

“Mau roti?” sapanya.

Bukan jawaban yang diberikan si bocah itu. Syaraf di hidungnya memerintahkan mulutnya untuk terus bersin. Bukan hawa dingin pemicunya. Bau harum perempuan cantik itulah sumber masalahnya. Semerbak tubuh perempuan itu begitu asing diterima hidungnya. Hidung yang telah terbiasa bergulat dengan aroma keringat pemicu semangat. Semangat untuk bertahan hidup!

Perempuan itu tak kuasa menahan tawanya. Beringsut dia masuk kembali ke dalam toko. Dia ambil sepotong roti. Dia berikan kepada si bocah. Si bocah ternganga, seolah tak percaya mimpinya menjadi nyata.

“Terima kasih Bu ...” katanya sembari bergegas pergi menerobos derasnya hujan. “Eh, ke mana? Masih hujan kok nekat?” teriak si perempuan tak habis mengerti.

Tak sempat menjawab, bahkan menoleh pun juga tak sempat. Lurus pandangannya ke arah rumah di mana adik-adiknya menanti. Ingin dia berbagi kebahagiaan yang didapat hari itu.

“Buukkkk!” licin lantai di depan toko itu karena air hujan, tak mampu dipijak dengan benar oleh kaki si bocah. Dia jatuh terlentang. Cepat dia balikkan tubuhnya. Matanya liar mencari-cari roti yang terlepas dari genggamannya. Sejenak dia terpaku. Roti itu terus menjauh darinya. Terbawa arus got yang kewalahan menampung tetesan air hujan. Matanya menerawang, dadanya berkecamuk. Entah suara apa yang ada, dia sendiri tak mengerti. Memelas sekali rona wajahnya kala dia bergumam, “Sepotong roti ... sampaikan salamku kepada ikan-ikan yang akan menikmati tubuhmu. Sampaikan juga salamku kepada lalat-lalat yang esok akan menggerogoti sisa tubuhmu, sampaikan ...”

Gontai dia melangkahkan kakinya pulang. “Maafkan aku adik-adikku, kesenangan hari ini tak jadi kita nikmati. Hilang karena kebodohanku ...”

***

“Hei, bangun Nak ... Emak bawakan sesuatu buat kalian ...”

Bocah laki-laki itu kaget, serempak terjaga dari tidurnya. Duduk di dipan tidurnya seraya menggosok-gosok matanya dengan jari-jari tangannya.

“Waahh Emak ... terima kasih Mak ...” kata si bocah sambil terus matanya memandangi tiga buah roti. Tiga buah roti yang terbalut wijen, dengan isi daging serta taburan coklat dan keju di atasnya.

“Adik ...! Eh adik ...! bangun, Emak bawa roti ...” bisiknya sambil sikunya menggoyang-goyangkan pantat kedua adiknya. Kedua adiknya lebih memilih menikmati tidurnya. “Eee ya sudah ... aku habisin sendiri rotinya ...” katanya seraya menjulurkan tangannya hendak meraih roti itu.

“Eit! Tunggu ... mandi dulu, baru boleh makan roti bareng-bareng ...” kata emaknya.

“Siap Mak!”

Segera dia bangkit dari tempat tidur. Menuju ke balik sekat papan sebuah kamar mandi. Tak sabar ingin segera dia tuntaskan mandinya .........

“Byuurrrrr ...!!”

“Heh, banguunn!!!! Dasar pemalas!! Sudah bangun malah tidur lagi di sini!” teriak emaknya sambil memegangi ember yang telah kosong isinya. Isinya telah berpindah ke seluruh tubuhnya. Isi ember yang begitu ampuh mengusir jauh-jauh sisa kantuknya di pagi itu.

“Duh, cuma mimpi ...“ desisnya.

Sepuluh menit berselang. Si bocah sudah gagah dalam balutan seragam sekolah. Seragam berwarna merah putih. Putihnya semakin tua warnanya. Sebaliknya merah seragamnya telah memudar di sana-sini. Dia awali hari, mantap bersiap menyongsong masa depan. Tak peduli meski kegelapan tak pernah henti menemani. Tak peduli mesti tak pernah ada sarapan pagi.


Solo Juli 2012

0 komentar:

Posting Komentar