Mulut bocah itu terperot-perot menahan air liur agar
tak tumpah keluar. Mata beningnya tajam menatap sebuah pajangan. Pajangan yang terbuat
dari kaca tanpa lis di siku-sikunya. Rapi sekali semua siku pajangan itu. Tampak seolah tanpa sambungan sama sekali. Pajangan itu juga sangat bening
hingga tak nampak sebagai penyekat antara barang yang tertata di dalamnya dengan
mata yang memelototinya. Termasuk mata bocah itu. Seorang penjaga dengan lap di
tangan selalu pada posisi siap siaga. Begitu setitik noda mampir dan tertinggal
di kaca itu, secepat kilat dia berlari. Dia lap kaca itu hingga kembali seolah tak
terlihat. Saking bersihnya.
Penjaga toko itu, ah begitu pinternya si pemilik toko roti
itu menemukannya. Dia lebih pantas duduk di belakang meja. Duduk dengan dasi menggantung di leher. Kulit
tubuhnya begitu bersih. Rambut mengkilap klimis. Menjadi begitu konyol menyaksikan
anatomi tubuh yang begitu bagus itu, harus menenteng lap di tangan. Memakai topi koki dan memakai celemek. Anomali itu menjadi semakin komplit
dengan peran senyum dan sapa basa-basinya. “Selamat siang, silakan Ibu ...”
katanya sambil membukakan pintu yang kesemuanya juga terbuat dari kaca itu. Sapa yang selalu
diiringi dengan senyum ramah. Meski semua itu tak digubris oleh orang yang
disapanya. “Terima kasih telah mengunjungi toko kami Bu ...” katanya lagi menutup
prosesi transaksi mereka yang mendatangi toko itu. Tak peduli setinggi gunung
beban di hati. Tak peduli nafasnya hampir terhenti mikir angsuran kredit motor
yang sudah jatuh tempo. Mulutnya harus selalu menyemburkan senyum dan sapa ramah
tamah. Hebat!
Mata bocah itu seakan begitu enggan kala harus menggesernya lepas
dari sepotong roti di dalam kaca itu. Sepotong roti berbalut wijen, dengan isi
daging dan taburan coklat serta keju di atasnya. Di raut wajahnya terlintas
sebuah kepasrahan. “Ah, seperti apa ya rasanya ...” demikian kira-kira harapannya.
Membayangkan kala roti itu masuk ke dalam mulutnya dan mengirimkan
sinyal-sinyal kelezatan ke seluruh syaraf perasanya.
Tak sadar tangannya memencet-mencet saku bajunya. Mencoba
menaksir jumlah sisa recehan hasil jerihnya kemarin. Sampai kapan kiranya
jumlah uang di sakunya itu kuasa menebus sepotong roti itu.
“Hei, jangan di situ mengganggu orang yang mau masuk toko!!”
teriak penjaga toko itu kepada si bocah. Lenyap dalam sekejap segala
keramahannya. Berganti dengan lukisan kemurkaan yang memenuhi wajahnya. Seolah
menemukan pelampiasan. Alamiah sekali kegusarannya meluncur deras dari
mulutnya. Sangat berbeda atmosfirnya dibanding ketika keramahan yang keluar dari
mulutnya. Keramahan basa-basi itu!
Kokoh bergeming sepasang kaki mungil itu. Sungguh luar biasa
hasrat di hati bocah itu. Hasrat yang mampu memompa air liur deras meronta. Mampu
mengalahkan perintah logika otak. Mampu mengesampingkan segala himpitan yang
mencoba menghalanginya. Gerimis pagi yang semakin rapat temani air liur yang
semakin berat.
“Anak gendheng! Adik-adikmu menunggu di rumah menahan lapar
tuh!!” teriak seorang perempuan paruh baya. Di tangannya, di sela-sela jari
tengah dan telunjuknya, terselip sebatang rokok yang tinggal setengah. Bocah
itu kaget setengah mati. Secepat kilat dia berlari. Berlari membawa harapannya ke
perempatan lampu merah tak jauh dari toko roti itu. Sekam hasrat membara di
hati anak itu bagai tersiram air. Padam seketika. Adalah ibu dari bocah itu sendiri
yang memadamkannya. Alih-alih mewujudkan harapan itu.
“Anak kurang ajar, suruh bantu maknya malah semaunya sendiri
...” semakin ngawur ocehan si ibu.
Si penjaga toko tersenyum menyeringai. Tugasnya selesai dengan
sendirinya. Perlahan dia mendekat ke kaca di mana bocah itu tadi berdiri.
Hati-hati dia mengelap sisa uap air dari mulut si bocah yang tertinggal di kaca
itu. Pelan, diulang lagi dan lagi, sampai kaca itu hampir tak terlihat. Saking
bersihnya. Puas hati, dia kembali ke balik pintu, tersenyum. Siap menjual
keramahannya lagi.
***
Siang itu, mentari tak kuasa melakonkan seluruh perannya
sampai tuntas. Mendung tebal hitam membekap kegagahan sang surya menyirami bumi
dengan cahayanya. Bocah di toko roti itu bersiap hendak meninggalkan perempatan
lampu merah kala uap air mendung tak kuasa lagi menahan gravitasi bumi.
Persis di depan toko roti itu, hujan tak bisa lagi diajak
berkompromi. Dia arahkan tubuhnya ke emperan toko. Bukan menatap hujan,
berharap lekas menghilang. Dia malah membelakangi hujan di depan toko itu.
Menatap sepotong roti yang terus mengusik hidupnya itu.
“Seandainya saja hari ini Emak membolehkan aku menggunakan
seluruh uangku ...” batinnya yang secepat kilat terhapus wajah dua adiknya yang
selalu menanti kedatangannya. Menanti dia datang untuk kemudian tertawa-tawa
bersama menuju warung Mbah Marno tetangganya. Dan seperti biasa, pecah keriuhan tawa mereka selepas pulang dari warung itu. Tawa
kebersamaan mereka. Tawa yang semakin keras terdorong jajanan di tangan mereka.
Jajanan seharga limaratus rupiah.
Sebenarnya cukup. Lebih dari cukup uang bocah itu untuk ditukar dengan roti lembut di depannya itu.
“Seandainya saja Emak .... ah biarlah,
mungkin Emak saja yang belum dapat kerjaan. Nanti kalau Emak sudah kerja, aku pasti
diijinkan memakai uangku untuk membeli roti itu ...”
Di dalam toko, seorang perempuan cantik luar biasa terus
memperhatikan si bocah. Sebentar dia mengamati roti-roti itu, sebentar dia
melirik ke arah bocah itu. Senyum tersungging di bibirnya yang selalu basah .
Tiba-tiba dia letakkan beberapa potong roti yang telah ada di tangannya. Dia
keluar dari pintu kaca itu, menghampiri sang bocah.
“Mau roti?” sapanya.
Bukan jawaban yang diberikan si bocah itu. Syaraf di
hidungnya memerintahkan mulutnya untuk terus bersin. Bukan hawa dingin
pemicunya. Bau harum perempuan cantik itulah sumber masalahnya. Semerbak tubuh
perempuan itu begitu asing diterima hidungnya. Hidung yang telah terbiasa bergulat dengan aroma
keringat pemicu semangat. Semangat untuk bertahan hidup!
Perempuan itu tak kuasa menahan tawanya. Beringsut dia masuk
kembali ke dalam toko. Dia ambil sepotong roti. Dia berikan kepada si bocah. Si
bocah ternganga, seolah tak percaya mimpinya menjadi nyata.
“Terima kasih Bu ...” katanya sembari bergegas pergi
menerobos derasnya hujan. “Eh, ke mana? Masih hujan kok nekat?” teriak si
perempuan tak habis mengerti.
Tak sempat menjawab, bahkan menoleh pun juga tak sempat.
Lurus pandangannya ke arah rumah di mana adik-adiknya menanti. Ingin dia
berbagi kebahagiaan yang didapat hari itu.
“Buukkkk!” licin lantai di depan toko itu karena air hujan, tak
mampu dipijak dengan benar oleh kaki si bocah. Dia jatuh terlentang. Cepat dia
balikkan tubuhnya. Matanya liar mencari-cari roti yang terlepas dari
genggamannya. Sejenak dia terpaku. Roti itu terus menjauh darinya. Terbawa arus
got yang kewalahan menampung tetesan air hujan. Matanya menerawang, dadanya
berkecamuk. Entah suara apa yang ada, dia sendiri tak mengerti. Memelas sekali rona
wajahnya kala dia bergumam, “Sepotong roti ... sampaikan salamku kepada ikan-ikan
yang akan menikmati tubuhmu. Sampaikan juga salamku kepada lalat-lalat yang esok
akan menggerogoti sisa tubuhmu, sampaikan ...”
Gontai dia melangkahkan kakinya pulang. “Maafkan aku
adik-adikku, kesenangan hari ini tak jadi kita nikmati. Hilang karena kebodohanku
...”
***
“Hei, bangun Nak ... Emak bawakan sesuatu buat kalian ...”
Bocah laki-laki itu kaget, serempak terjaga dari tidurnya. Duduk
di dipan tidurnya seraya menggosok-gosok matanya dengan jari-jari tangannya.
“Waahh Emak ... terima kasih Mak ...” kata si bocah sambil terus
matanya memandangi tiga buah roti. Tiga buah roti yang terbalut wijen, dengan
isi daging serta taburan coklat dan keju di atasnya.
“Adik ...! Eh adik ...! bangun, Emak bawa roti ...” bisiknya
sambil sikunya menggoyang-goyangkan pantat kedua adiknya. Kedua adiknya lebih
memilih menikmati tidurnya. “Eee ya sudah ... aku habisin sendiri rotinya
...” katanya seraya menjulurkan tangannya hendak meraih roti itu.
“Eit! Tunggu ... mandi dulu, baru boleh makan roti
bareng-bareng ...” kata emaknya.
“Siap Mak!”
Segera dia bangkit dari tempat tidur. Menuju ke balik sekat papan sebuah
kamar mandi. Tak sabar ingin segera dia tuntaskan mandinya .........
“Byuurrrrr ...!!”
“Heh, banguunn!!!! Dasar pemalas!! Sudah bangun malah tidur
lagi di sini!” teriak emaknya sambil memegangi ember yang telah kosong isinya.
Isinya telah berpindah ke seluruh tubuhnya. Isi ember yang begitu ampuh
mengusir jauh-jauh sisa kantuknya di pagi itu.
“Duh, cuma mimpi ...“ desisnya.
Sepuluh menit berselang. Si bocah sudah gagah dalam balutan
seragam sekolah. Seragam berwarna merah putih. Putihnya semakin tua warnanya. Sebaliknya merah seragamnya telah memudar di sana-sini. Dia awali hari, mantap
bersiap menyongsong masa depan. Tak peduli meski kegelapan tak pernah henti
menemani. Tak peduli mesti tak pernah ada sarapan pagi.
Solo Juli 2012
0 komentar:
Posting Komentar