Panas terik semakin
mengguncang ombak yang garang, menerjang batu karang. Meluluh-lantakkan indah panorama alam yang lengang. Batu-batu
luruh menjadi serpihan, larut terbawa air lautan. Menjauh ... semakin jauh.
Samar di kaki pelangi, di antara uap-uap air yang beterbangan, berdiri
mengangkang sesosok bayangan. Senyum mengambang, semakin lebar ... dan tertawa menendang
serpihan moral. Moral yang kini berserakan di dasar telapak kaki
sombongnya ......
Tepat ketika gerbong yang membawa rombongan separuh jiwa itu berhenti, semua berebut pengin keluar paling duluan. Tidak seperti biasanya,
kali ini di
luar gerbong jalanan begitu sempit. Setengah tubuh-tubuh itu menjadi
tidak bisa bergerak. Saling menindih. Menumpuk. Akhirnya, setengah tubuh-tubuh itupun
tidak lagi bisa bergerak sama sekali. Hanya kedua setengah mata mereka yang
dapat digerakkan. Digerakkan meski dengan setengah sudut pandang yang sangat terbatas. Akhirnya mereka sadar, kini mereka
berada di gerbong lain. Gerbong yang keseluruhannya berwarna putih.
“Kondom! Aku
jadi ingat, ini namanya kondom! Kita sekarang ada di sebuah ujung kondom!”
teriak Michael Sperm. “Benda ini rekayasa tuan kita agar kita tidak dapat bersatu dengan
setengah belahan
jiwa kita di seberang sana”, lanjutnya geram. Tapi tidak
ada yang dapat dilakukannya. Pasrah. “Venera Ovumia
kekasihku, maafkan aku tak bisa datang menjemputmu ….!”
“Kondom? Apakah ini sama
dengan yang kemaren, yang warnanya pink itu?” tanya se-setengah jiwa lain yang
ada tepat di sisi Michael.
“Lha iyalah ... itu kan cuma
variasi warna aja, biar nggak bosen ngeliatnya ...” jawab Michael sok pinter.
“Geseran dikit dong, aku ketindih ...” lanjut Michael.
“Aduuhh ... maaf ya. Aku
juga nggak bisa bergerak sama sekali nih .. maaf”, jawab kolega senasibnya itu.
Di luar, Michael melihat Venera, setengah bagian tubuh
pasangannya, tak pernah lelah melambai-lambai, menyuruhnya datang. Datang membentuk sebuah kesepakatan. Dia berlari
kian kemari, tak sabar menanti.
”Gimana aku mau ke situ dear say, sekedar untuk melihatmu saja susyaaah,
tertindih setengah tubuh-tubuh yang lain nih….” batinnya.
“Hurry up Honey, hurry up… can’t wait any longer…, kalau
tidak kau cepet
datang, tak mungkin lagi nanti kita dapat bersama. My love, I am dying …” kata takdir separuh jiwa Michael di balik sebuah tirai lembek namun alot
bukan kepalang. Dia tepat di sisinya, terbatasi sekat tipis yang mirip kaca buram tapi lembut
itu.
“Tidak bisa dear say, kita tidak
dikehendaki tuan kita untuk bersatu …”.
“Sebenarnya benda apakah yang menghalangi
kita ini?”
“Namanya kondom Say. Dipakai para pendahulu kita agar kita tidak bisa mengikuti jejak
mereka menikmati indahnya bumi …”
“Aduuh … penemuan teknologi baru ya my love?”
“Honey, kondom
bukan barang baru. Has been there for many years. Used
to be called kapuce” terang Michael kepada setengah belahan jiwanya
itu.
“Kapuce?
Hey, a little nice short name I think ... Hihihi ... Kondom? something disgusting
to my half two ears ...”
Sesaat
sempat terbersit keceriaan di setengah wajah Venera. Tetapi sesaat yang lain
kemudian ...
“Honey, kenapa
sih para pendahulu itu tidak menghendaki kita ada. Why
…? Apa
yang telah kita perbuat? Apa salah kita?” memelas suara
Venera.
“Kalau denger-denger sih demi kesejahteraan para pendahulu kita itu. Making
their lives better … agar kelangsungan hidup mereka lebih
baik
... we did nothing wrong”
“Kalau masalahnya
seperti itu, kenapa kita yang menjadi korban? Kenapa tidak tatanan kesejahteraan
itu yang dibikin lebih baik? Why? It sounds unfair …”
semakin memelas suara Venera.
“Bukan cuma itu saja Honey, katanya juga sudah terlalu banyak manusia di dunia sana. Ngeri
Say kalau nanti terlalu banyak, bisa meledak katanya … can’t imagine that … hiiii
….”
“Meledak?? We are
not extremists, are we? Even we do not have an explosive material???!!”
“Nggak tahulah Say, aku juga bingung …”
“But Honey, apakah Tuhan
sebegitu bodonya? Nggak bisa ngitung berapa meter persegi luas ruang mukiman itu,
terus dibagi jumlah penghuninya berapa, dapet kaplingannya berapa? Oh my God! God! God!!” kesah Venera tak putus-putus.
“Aku bener-bener nggak paham my love … I have no idea, sorry”
“Jangan pedulikan
itu honey, Just look at my half two eyes. Lekas datangi aku,
kita nikmati indahnya dunia … please Honey …”
Baru saja setengah tangan Michael mau mencari-cari sesuatu untuk merobek sekat itu,
mendadak gerbong itu terangkat. Michael melolong.
Venera menyayat-nyayat suaranya, memohon belas kasihan.
Namun akhirnya hanya lambaian tangan yang mampu mereka wujudkan.
“Mike
...!!!”
“Venny
...!!!”
***
Aku menyeringai
puas. Aku pandangi pacarku yang masih tertidur pulas. Ah, semakin cantik saja dia! Hehehe ... bukan itu
masalahnya. Tapi, tak ada lagi kini sebuah kekhawatiran yang
bersemayam. Setelah semua usai. Kondom
telah
menjadi malaikat pelindungku. Pelindung yang membuat hatiku tentram tram ...
tram ... tram ...!. Kondom yang kini selalu temani permen
dan
bolpen di sakuku. Bersama melalui hari-hariku bersama pacarku.
Asyik!
Meski kami seringkali harus saling cubit kala harus mendapatkannya. Ih hik hik hik ... Malu.
Orang-orang
pintar yang baik hati, kami menunggu aksimu lagi. Tak sabar menunggu Anjungan Kondom
Mandiri. Hingga tak perlu lagi ada
komunikasi kala bertransaksi. Hanya setan baik hati yang temani.
Setengah
jiwaku yang baik bersenandung... “Ah, menginjak
sebuah moral ternyata cukup hanya dengan sarung kelamin ... min ... min.
Menetes air mataku. Air mata sisi baek di jiwaku itu. Maaf.
Solo,
Agustus 2012
0 komentar:
Posting Komentar