Sabtu, 17 November 2012

Bedah Kondom



Panas terik semakin mengguncang ombak yang garang, menerjang batu karang. Meluluh-lantakkan  indah panorama alam yang lengang. Batu-batu luruh menjadi serpihan, larut terbawa air lautan. Menjauh ... semakin jauh. Samar di kaki pelangi, di antara uap-uap air yang beterbangan, berdiri mengangkang sesosok bayangan. Senyum mengambang, semakin lebar ... dan tertawa menendang serpihan moral. Moral yang kini berserakan di dasar telapak kaki sombongnya ......

Tepat ketika gerbong yang membawa rombongan separuh jiwa  itu berhenti, semua berebut pengin  keluar paling duluan. Tidak seperti biasanya, kali ini di luar gerbong jalanan begitu sempit. Setengah tubuh-tubuh itu menjadi tidak bisa bergerak. Saling menindih. Menumpuk. Akhirnya, setengah tubuh-tubuh itupun tidak lagi bisa bergerak sama sekali. Hanya kedua setengah mata mereka yang dapat digerakkan. Digerakkan meski dengan setengah sudut pandang yang sangat terbatas. Akhirnya mereka sadar, kini mereka berada di gerbong lain. Gerbong yang keseluruhannya berwarna putih.

“Kondom! Aku jadi ingat, ini namanya kondom! Kita sekarang ada di sebuah ujung kondom!” teriak Michael Sperm. “Benda ini rekayasa tuan kita agar kita tidak dapat bersatu dengan setengah belahan jiwa kita di seberang sana”, lanjutnya geram. Tapi tidak ada yang dapat dilakukannya. Pasrah. “Venera Ovumia kekasihku, maafkan aku tak bisa datang menjemputmu ….!”

“Kondom? Apakah ini sama dengan yang kemaren, yang warnanya pink itu?” tanya se-setengah jiwa lain yang ada tepat di sisi Michael.

“Lha iyalah ... itu kan cuma variasi warna aja, biar nggak bosen ngeliatnya ...” jawab Michael sok pinter.

“Geseran dikit dong, aku ketindih ...” lanjut Michael.

“Aduuhh ... maaf ya. Aku juga nggak bisa bergerak sama sekali nih .. maaf”, jawab kolega senasibnya itu.

Di luar, Michael melihat Venera, setengah bagian tubuh pasangannya, tak pernah lelah melambai-lambai,  menyuruhnya datang. Datang membentuk sebuah kesepakatan. Dia berlari kian kemari, tak sabar menanti.
Gimana aku mau ke situ dear say, sekedar untuk melihatmu saja susyaaah, tertindih setengah tubuh-tubuh yang lain nih….” batinnya.

Hurry up Honey, hurry up… can’t wait any longer…, kalau tidak kau cepet datang, tak mungkin lagi nanti kita dapat bersama. My love, I am dying …” kata takdir separuh jiwa Michael di balik sebuah tirai lembek namun alot bukan kepalang. Dia tepat di sisinya, terbatasi sekat tipis yang mirip kaca buram tapi lembut itu.

“Tidak bisa dear say, kita tidak dikehendaki tuan kita untuk bersatu …”.

“Sebenarnya benda apakah yang menghalangi kita ini?”

“Namanya kondom Say. Dipakai para pendahulu kita agar kita tidak bisa mengikuti jejak mereka menikmati indahnya bumi …”

Aduuh … penemuan teknologi baru ya my love?”

“Honey, kondom bukan barang baru. Has been there for many years. Used to be called kapuce” terang Michael kepada setengah belahan jiwanya itu.

“Kapuce? Hey, a little nice short name I think ... Hihihi ... Kondom? something disgusting to my half two ears ...”

Sesaat sempat terbersit keceriaan di setengah wajah Venera. Tetapi sesaat yang lain kemudian ...

Honey, kenapa sih para pendahulu itu tidak menghendaki kita ada. Why …? Apa yang telah kita perbuat? Apa salah kita?” memelas suara Venera.

“Kalau denger-denger sih demi kesejahteraan para pendahulu kita itu. Making their lives better … agar kelangsungan hidup mereka lebih baik ... we did nothing wrong

“Kalau masalahnya seperti itu, kenapa kita yang menjadi korban? Kenapa tidak tatanan kesejahteraan itu yang dibikin lebih baik? Why? It sounds unfair …” semakin memelas suara Venera.

“Bukan cuma itu saja Honey, katanya juga sudah terlalu banyak manusia di dunia sana. Ngeri Say kalau nanti terlalu banyak, bisa meledak katanya … can’t imagine that … hiiii ….”

“Meledak?? We are not extremists, are we? Even we do not have an explosive material???!!”

“Nggak tahulah Say, aku juga bingung …”

“But Honey, apakah Tuhan sebegitu bodonya? Nggak bisa ngitung berapa meter persegi luas ruang mukiman itu, terus dibagi jumlah penghuninya berapa, dapet kaplingannya berapa? Oh my God! God! God!! kesah Venera tak putus-putus.

Aku bener-bener nggak paham my love … I have no idea, sorry

“Jangan pedulikan itu honey, Just look at my half two eyes. Lekas datangi aku, kita nikmati indahnya dunia … please Honey …”

Baru saja setengah tangan Michael mau mencari-cari sesuatu untuk merobek sekat itu, mendadak gerbong itu terangkat. Michael melolong. Venera menyayat-nyayat suaranya, memohon belas kasihan. Namun akhirnya hanya lambaian tangan yang mampu mereka wujudkan.

“Mike ...!!!”

“Venny ...!!!”

***

Aku menyeringai puas. Aku pandangi pacarku yang masih tertidur pulas. Ah, semakin cantik saja dia! Hehehe ... bukan itu masalahnya. Tapi, tak ada lagi kini sebuah kekhawatiran yang bersemayam. Setelah semua usai. Kondom telah menjadi malaikat pelindungku. Pelindung yang membuat hatiku tentram tram ... tram ... tram ...!. Kondom yang kini selalu temani permen dan bolpen di sakuku. Bersama melalui hari-hariku bersama pacarku.

Asyik! Meski kami seringkali harus saling cubit kala harus mendapatkannya. Ih hik hik hik ... Malu.

Orang-orang pintar yang baik hati, kami menunggu aksimu lagi. Tak sabar menunggu Anjungan Kondom Mandiri. Hingga tak perlu lagi ada komunikasi kala bertransaksi. Hanya setan baik hati yang temani.
Setengah jiwaku yang baik bersenandung...  “Ah, menginjak sebuah moral ternyata cukup hanya dengan sarung kelamin ... min ... min.

Menetes air mataku. Air mata sisi baek di jiwaku itu. Maaf.



Solo, Agustus 2012

0 komentar:

Posting Komentar