Kamis, 27 Desember 2012

Tebing Somplak


Orang tua kurus itu berdiri lama-lama. Sesungging senyum tertahan, sambangi  bibir berkerutnya. Sekejap, lalu sepasang bibir itu kembali mengerucut. Bibir yang tak lagi mendapati penopangnya. Gigi-gigi hitam. Alis putih di atas matanya sesekali terangkat . Sesekali bersentuhan, disatukan oleh kerut dahinya. Dahi yang bagian atasnya sudah tidak lagi diselimuti rambut itu. Tebing usang yang menggelambir di depan matanya seketika tertawa. Orang tua itu mengerang. “Aku tak bosan ada di antara onak di kakiku ...”  Dan derunya kemudian, “Sudah lama kucecap sakit ini, rasanya tak kuat saat kau beri ruang lagi untuknya. Dan aku yakin itu kan menjadi bantal matiku ... Huh!!”

Triiinggg ... denting makian semakin membelit isi dadanya. Dada itupun meranggas hebat, menguapkan madah hati terhadap hidup yang dijalaninya. Bibirnya melarik epilog kecemburuan. “Seumur-umurku telah aku letakkan pengais rejeki itu di hadapanmu ...” “Sekiranya aku akan selalu berbaju kepelitanmu, enggan rasanya aku meneruskan kisah ini ...tak jua mataku menatap tunas itu berkecambah” “Malaikat maut... atau siapapun yang saat ini ada di dekat jiwaku ... aku letakkan hidupku, kabarkan kepada pemilik rohku ...”

Tekad itu sudah bulat. Nalar itu telah mampat.  Kaki lemahnya menapaki tebing usang di depannya. “Tebing laknat ... inikah yang kau harap?!” Nafas satu-satu yang masih kuat dihembuskan, menyertai kaki sang kakek kala menginjak tanah di batas antara tebing itu dengan cakrawala. Di atas tebing, alis matanya bergerak-gerak tertimpa angin. Dadanya kembang kempis menyatukan detak jantung yang semakin meronta. Tebing itu perlahan menghitam. Senyumnya semakin dalam bersemayam di balik bayangannya. “Lelaki pandir ...” batinnya seraya mengatupkan penglihatannya.

Secepat-cepatnya, kakek itu membawa lari raga kurusnya melewati ambang bayu yang masih bisa diwujudkan. Sepersekian saat sebelum raga itu melewati bibir tebing, pijakan kakinya limbung. Menjadikan orang tua itu terguling berkalang tanah. Sebelum kaki tebing usang itu menerima jasadnya beberapa detik kemudian. Tak ditemui kaki berkelejotan, tak ada erangan tertahan. Bahkan tak ada air mata yang mengiringi. Hanya percik air yang jatuh beberapa meter dari atas. Suara percikan itu menggema membentur dinding tebing yang melengkung membentuk setengah lingkaran. “Ikuti saja arah angin, sampai penantianmu usai di ujung jalan itu ...” bisik tebing itu saat tubuh si kakek melayang di depannya.

***

Kakek itu berdiri. Tiiiiingg ... “Eh, aku terbang ...” Dia melihat ke bawah. Jasadnya membujur kaku. Darah mengalir di beberapa bagian tubuh diamnya. Gelap gulita di sekelilingnya. Namun hanya sesaat. Sesaat kemudian, gelap itu memudar. Perlahan menjadi semakin terang. Hingga akhirnya semua hanyalah terang yang ada. Orang tua itu memejamkan matanya, membiasakan pandangannya dengan cahaya yang diterima. Ketika dia membuka mata, semua sudah tertutup terang berkilauan. Tak tampak jasad berdarahnya. Tak tampak lagi tebing yang selalu menertawakan keputusasaannya. Dan tak tampak juga semua pohon di dasar jurang itu. Semua hilang. Tiba-tiba, rambutnya bergerak tertiup angin. Tangan orang tua itu meraba kepalanya. “Eh, ada rambut di kepalaku ...” gumamnya. Dia menoleh ke arah desiran angin itu. Di hadapannya terbentang jalan yang lebar. Semua tertutup cahaya putih. Sebentuk pepohonan yang semuanya berwarna putih ada di kedua sisi jalan itu. “Jalan putih ...” desisnya. “Aku harus ikuti jalan ini”, katanya kemudian sambil menyeringai menahan hawa panas yang ditimbulkan oleh uap di sepanjang jalan itu. Semakin dia mengikuti jalan itu, semakin kuat hawa panas yang ditimbulkan. 

Susah payah dia menahan hawa panas itu. Akhirnya pada satu kelokan, dia menjumpai seseorang. Orang dengan perawakan tubuh yang sangat tinggi. Tangan kiri orang itu mendekap sebuah buku, sedangkan tangan kanannya  membawa sebatang tongkat pendek. Tongkat yang dia pakai untuk menunjuk-nunjuk kala dia berbicara. Di tubuh orang itu menjuntai satu lilitan kain berwarna putih. Satu-satunya yang tidak berwarna putih adalah matanya. Mata itu tajam menyorot seperti api, berwarna merah.“Siapakah dirimu?” tanya orang itu. “Somplak ...” jawab sang kakek. “Bukan jawaban bodoh itu yang aku mau!” hardik orang itu. Kakek Somplak terdiam, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh orang tinggi itu. “Kamu tidak ada di catatanku hari ini” akhirnya orang itu membuka suara lagi. “Kau tidak boleh masuk, namamu belum ada di kitab ini ... berdiamlah di situ”, kata orang itu sambil menunjuk-nunjukkan tongkatnya ke arah buku di tangan kirinya.
Kakek Somplak menunduk terdiam. Batinnya membenarkan ucapan orang itu. “Tapi ...“ ucapannya terhenti karena dia tidak mendapati lagi orang putih itu di hadapannya. Pasrah, kakek itu merebahkan dirinya di jalanan putih itu.

“Orang putih ... aku haus!” teriak orang tua itu setelah tak mampu lagi menahan kering di kerongkongannya.

“Pikirkanlah bahwasannya dirimu sedang minum ...” hanya suara yang dia dengar. Tak didapati siapapun ketika dia tolehkan kepalanya ke arah suara itu.

“Kasihani aku Orang Putih ... aku juga sangat lapar ...!”

Suara itu terdengar lagi, “Pikirkanlah bahwasannya dirimu sedang makan”

“Tolong aku Orang Putih ... di sini panas sekali ..., Heh, tidak usah dijawab! Aku bisa membayangkan sedang ada di taman yang sejuk! Setan alas!!” mulai hilang kesabaran Kakek Somplak.

“Ho hoh hoh hoh hoh hoooh...” nyaring bergema terdengar tawa orang putih itu.

Dengan amarah di dada, kakek itu berlari ke depan, ke arah samar terlihat sebuah gerbang. Baru beberapa jengkal, tubuhnya terantuk semacam sekat tak kasat mata. Dia hantam sekat itu sekuat tenaga. Demikian berkali-kali dia lakukan. Merasa sia-sia, sang kakek berlari menjauhi sekat itu. Bermaksud kembali ke waktu pertama kali dia melihat jalan putih itu. “Di sana tidak begitu panas ...” batinnya. Baru beberapa langkah, kembali tubuhnya terantuk sekat tak terlihat.

“Orang Putihhhhhhh .... !!”  teriaknya pasrah.

***

“Somplak, ikut aku!” dengan setengah tertatih kakek Somplak mengikuti orang putih itu. Penderitaan luar biasa telah meluputkan perhatiannya terhadap sekat yang mengurungnya. Dia tidak menyadari kalau sekat itu sudah tak ada lagi. Tubuhnya gontai berjalan mengikuti di belakang orang putih itu. Mata Kakek itu membelalak tatkala orang putih itu menghentikan langkahnya. “Tebing usang ...” desisnya. Baru saja dia mau membuka mulutnya lebih jauh, orang putih itu sudah menyilangkan jari telunjuk di mulutnya. Di depan mereka, berdiri  seorang kakek dengan posisi menghadap bibir tebing.

“Tebing usang ... kau menjadi saksi ketika Kakek Somplak jatuh dari punggungmu ... kau menjadi saksi perjuangan tulus kakek Somplak ... Kakek yang telah menyengatkan getaran nurani orang yang menyaksikan kisahnya. Matiku pantas disaksikan keluhurannya!” kata orang di bibir jurang itu.

“Kau dengar itu Orang Putih?! Aku tidak bunuh diri!” teriak Kakek Somplak penuh harap. Sontak  saat itu juga sinar matanya menyampaikan sebuah harapan ke arah orang putih.

“Buka topengmu itu!!” hardik orang putih. “Kalau kau tidak pernah bisa mengakui kesalahanmu, akan semakin lama dirimu ada di jalan putih itu”. “Dan jangan sekali-kali kau anggap aku bodoh!!”

“Siapa orang itu?” tanya Kakek Somplak.

“Cucumu ...”

“Cucuku? Berapa lama aku di jalan putih?”

“Lima puluh tahun ...”

“Lima puluh tahun?! Kau panggang aku lima puluh tahun? Tidakkah mulut orang-orang itu menjadi pertimbanganmu?”

“Semakin mereka memujamu, semakin lama kau akan berada di jalan putih itu...”

Seketika terkunci rapat mulut si kakek.

***

“Lihat itu Somplak ...”, kata orang putih kepada kakek Somplak.

“Apalah gunanya ... toh tidak juga kau tawarkan kepadaku sebuah pilihan ....”,  tanpa hasrat kata-kata itu keluar dari mulut si kakek.

“Karena kebodohanmu ... setan telah membuka rumahnya di tebing itu ...”

Setengah hati, kakek Somplak menolehkan pandangannya ke Tebing Usang. Matanya sedikit menyiratkan keingintahuan.

“Kenapa cucuku tidak jadi mati?!”

“Setan tebing itu telah menawarkan hasrat kepada cucumu ..., dan kini orang-orang mengikuti jejaknya...”, dalam suara orang putih itu. Begitu dalam hingga hampir tak terdengar oleh kakek Somplak. “Ini semua salahmu lima puluh tahun yang lalu ...” lanjutnya. Kakek Somplak tidak begitu mengerti maksud si orang putih. Matanya menembus jarak, memandangi sekumpulan orang di atas bukit itu.

Sungguh sebuah ketidakmengertian yang didapati sang kakek dengan apa yang ada di depan matanya. Benaknya terisi berbagai kecamuk menyaksikan kejadian di atas bukit itu. Orang-orang di tebing itu datang berpasang-pasangan. Mulut mereka komat-kamit melontarkan permohonan.

“Kakek Somplak, kami datang meminta rejeki kepadamu. Kami terima apa perintahmu untuk kekayaan yang hendak kau berikan kepada kami ...”

Kakek Somplak mengerenyitkan dahinya. “Sejak kapan aku kuasa memberi limpahan rejeki kepada makhluk-makhluk itu?” Sejenak benaknya menelusuri jalan hidupnya. Tak jua dia temui saat dia mampu mengabulkan permintaan orang.

Tiba-tiba dia melihat sebuah bayangan hitam. Bayangan yang membisikkan sesuatu di telinga orang-orang itu. Menyeringai penuh kemenangan kala usai membisiki telinga orang-orang itu. Bau dupa menyeruak di antara pepohonan. Dupa yang semakin menggunung dibakar oleh orang-orang itu. Dupa yang sudah menyerupai gunung kecil itu, di bawahnya tertutup taburan kembang.

Beberapa saat kemudian, orang-orang itu saling bertukar pasangan. Kini mereka bergandengan tangan dengan masing-masing pasangan barunya. Bergeser beberapa jarak. Tiba-tiba kakek Somplak menutup matanya. Dadanya tidak kuat menerima beban rasa ketika matanya menyaksikan sebuah peristiwa. Sekumpulan anak manusia itu saling membuka tempelan benang yang melekat di tubuhnya. Setelah hanya berbalut udara dingin tebing itu, mereka saling tindih. Bayangan hitam semakin lebar menyeringai. Di sisi lain, air mata mengalir di kedua mata Tebing Usang.

Akhirnya kakek Somplak menyadari apa yang ada di hadapannya. Wajah-wajah manusia yang berusaha melepaskan berbagai cerita. Wajah-wajah itu berserakan di antara kelimpungan hasrat. Melepaskan bau kehidupan yang semakin amis. Sempoyongan, terpelanting hingga akhirnya tergolek di sebuah papan kenistaan.

Tak sadar, kakek Somplak menyeka matanya. Mengusap butir-butir air di kedua sudut matanya. Orang Putih tersenyum getir, lega melihat air mata  kakek Somplak.

“Kiranya ini adalah saat penantianku di ujung pengujianmu ...” gumam orang putih.


Solo, Des’12

0 komentar:

Posting Komentar