Saya adalah pelaku pena berasal dari sebuah kota budaya kecil Surakarta Jawa Tengah Indonesia. Tertarik pada sebuah sisi kehidupan dari peradaban ini.
Di samping itu, karena latar belakang pendidikan saya di Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Inggris Universitas Sebelas Maret Surakarta, saya juga terlibat dalam kegiatan menerjemahkan Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia dan sebaliknya.
Blog ini adalah salah satu wahana di mana saya menumpahkan segala gagasan dan ketertarikan saya kepada kehidupan ini.
Jika Anda tertarik untuk berinteraksi lebih jauh dengan saya, silakan terlibat dalam kehidupan saya. ( jasa terjemahan online ) di: 0271-5884647 a.n Agus Sulistyo


Rabu, 28 November 2012

Transmutasi-2




Berbekal setengah ruh, mencoba bangkit berlari
satukan segala tenaga ...
sekali lagi terjatuh, terantuk panas uap jalanan
“Mungkin aku perlu menutup mataku barang satu dua jenak”

Berat hati menuju trotoar peraduan, rebahkan bati-sebati lunglai
di bantal-bantal harap
seribuan kunang mendekat, tak jua mata merapat

Seorang bocah berjingkat
seolah tak lagi kuat, mencekuh sukma pekat
jajarkan dua jari, katupkan di depan mulut
sempoyongan deru mulut berbusa-busa
“Nak, ingatlah Ibu yang tak pernah lelah menitikkan air mata ketika kau tiada di sisinya...”

Darah menyembur di dada
bekas terlewati tajam pisau belati,
darah yang tidak mendapat tempat pergi melewati kerongkongan
keluar dari mulut, meleleh bertemu darah-darah lain
Putih ... semua putih adanya

Sang Bulan mendekat, tersenyum tercekat
rebahkan diri, temani jasad, jasad lemah
tak ada lagi di depan pintu tuk disambut,
tak ada lagi senyuman indah...
menutup jabal jiwa, hanya ruang kosong
sepi, dingin terbujur menghadap kiblat syamali

Solo Mei 2012

Senin, 26 November 2012

Transmutasi




Di kelokan jalan yang dipenuhi nafas kehidupan
diam, merunut gerah hati
sebentar mengusap lelah jiwa, sebentar mengusap keringat asa ...

Desah jerit kucing yang hendak melepas hasrat,
koar segerombolan tikus lapar
menemani resah, meretas harapan liar ...

Keras mencoba memecah traktat di kepala
hingga sejenak terjatuh, sujud di kaki lemah
tak lagi kuat beban tubuh tertahan telapak rapuh, tersimpuh luruh...

Bulan melirik dari balik jasirah cakrawala langit dan berbisik,
“Jasadmu lelah...”
hebat meradang, sakit terbakar kecamuk hati
“Tahu apa kau tentang lelah hahh?!”
sejenak bersanding, melepas gejolak masing-masing
“Kalau kau lihat senyum itu, mungkin kau baru tahu lelah!!”

Aug, 2012

Minggu, 25 November 2012

Bapak, Jangan Paksa Aku Kawin




Rambut sedikit bergelombang, klimis tersisir ke belakang
senyum tak bosan mengambang, di wajah yang selalu tenang
lembut tutur kata terngiang, jauh dari kesan gamang
“Apa yang kurang?”

Pagi, ketika seribu kepala terisi strategi, demi apa yang mereka sebut nasi,
tak pernah kau ciut hati, “cik ... cik ... cik ...”, nyaring detak jantung sebuah alat transportasi
di mana jaman tak kuasa lagi, memamah sepotong besi, berbahan bakar ubi
“Apa yang kurang serasi?”

Tak peduli gurita jaman liar melilitmu, membelenggu tubuhmu sampai terkaku-kaku
tak pernah kau merasa jemu, tuk terus membabar dorongan kalbu
membasuh lesu, menjadi deru yang semakin menggebu
“Apa yang kurang serasi dari semua itu?”

“Subi, Bapak kagum melihat caramu cipta peradaban ...”
“Liat perawan-perawan itu, meski badannya bau tanah sawah.. emmmm luar biasa sedap ...”
“Apa itu, babu-babu semi permanen yang berserakan di pendhapa, di dapur, di halaman belakang ...
“Coba kau jemput satu, jadikan mainan waktu luang ...”

Hilang semua air itu, tak pernah kau toleh ke belakang lagi, kau tutup telinga dengan kedua tanganmu, tak putus-putus kau teriakkan,
“Bapaaak jangan paksa aku kawiiiiin ...!!”

Solo Juni 2012

Sabtu, 24 November 2012

Perempuan Itu Namanya Mbok Kemih



Di parit-parit wajahmu tak pernah henti mengalir tawa keikhlasan. Gigi setengah tonggosmu yang sebagian besar telah tertata rapi di lapisan-lapisan bumi itu, kini tinggal tersisa dua di depan, mirip kelinci. Pasti mudamu macam bekas istrinya Glenn Fredly itu ya ... he..he...he... Dewi Sandra! Ya hampir lupa aku dengan nama perempuan seksi itu!
“Mbok Kemih ...ih hik ... hik ....hik...” jawabmu kala kutanya “Eh, Mbok jeneng sampeyan siapa?” Selalu seperti itu, ya seperti itu setiap kali kau ngomong ... tak pernah lupa kau suguhkan tarian dua gigimu di sela-sela ocehanmu. “Kemi ... mi ..., apa Kemih ... mih?”  “Mih ... Kemih!” jawabmu agak jengkel. Ooalah ... Pak Dokter, mbok tolong diberitahu perempuan ini, apa itu makna kemih.
Mbok Kemi ... eh Mbok Kemih... uang tiga ratus ribu yang bisa dengan mudah kau selipkan di balik kutangmu itu, kau ubah menjadi setenggok beban di pundakmu. Kau bawa menyusuri panasnya jalanan beraspal. Pagi-pagi kau usung mimpimu menuju panggung realita yang kebetulan ada di depan sekolah anakku. Panggung realita yang kadang membuat syaraf di dadamu mengkerut ... kecut .
“Karaaaakk  ...!” teriakmu dengan tenaga setengah, sebab yang setengah telah kau habiskan tuk menyatukan dua dimensi ruang terpisah itu. Oh ya Mbok Kemih, sekedar kau tahu, berplastik-plastik harapanmu itu menumpuk di rumahku. Batinku selalu menyuruhku untuk sekedar mengurangi satu bebanmu itu setiap kali kita bertemu. Aku sendiri tidak begitu suka dengan apa yang kau sebut karak itu, apalagi anakku! Bisa-bisa kau dibunuh jika berani mencoba menawarkan kepadanya ...
“Sudah habis berapa sendal Mbok?” candaku yang kubuat senyaman mungkin dengan nalarnya. “Sebenarnya awet Mas .. ih hik ..hik ... tapi, di bawah tungkak pas ini cepet banget tipisnya, tungkak’e  jadi kepanasan kena aspal ... ih hik ... hik... hik ...
“Ha ... ha ... ha ...! Sama ya Mbok dengan ngemis, nggak kepikiran ngemis Mbok?” candaku sengaja sedikit menyakitimu. “Mas, meski rupaku lebih njijiki dari pengemis, tapi kalau disuruh ngemis? Pilih mati kelaparan Mas!” simpulmu sedikit mengisyaratkan kemarahanmu, meski saja tetap canggung. Tapi aku rasakan di jiwaku, ada sebuah kepastian pilihan hidup yang kau titi dengan penuh ketulusan di sana.
Ya ya ya ... marahlah Mbok, semburkan dengan segenap air liurmu, biar semua tahu itu adalah pilihan hidupmu. Kumpulkan banyak-banyak di kandung kemihmu, sirami batu nafsu kami dengan cahayamu. Di mataku yang tak lagi awas ini, kau mulia sekali. Sendal jepitmu itu lebih mulia daripada batu permata, daripada kami para pelaku hidup yang di dalam kepala kami hanya ada urusan perut dan saluran kemih.
Mungkin sampai di sini agak terbuka tabir rahasia arti namamu itu Mbok. Kalau toh akhirnya kau tahu apa makna namamu itu, pesanku jangan pernah merasa malu Mbok. Mau apa namamu, entah itu kemih ... Mani ... atau apalah, kilau berlian itu akan selalu terpancar dari balik rongga-rongga hatimu.
Aku yakin kelak bila kapalen di kakimu itu telah mencapai kontur ketebalan tertentu, kau tak lagi butuh sendal baru. Hingga uang sepuluh ribu rupiah penebus sendal jepitmu itu bisa menjadi berkarak-karak semakin banyak. Oh ya Mbok satu lagi pesanku, kalau jalan jangan nengah-nengah ya ...

***

Ketika hasrat bersenyawa dengan keterbatasan, setetes ketidakberdayaan jatuh berderai membasahi permukaan bumi. Lemah isi rongga di kepala dan ruang di hati berpadu, lemah pula hasil yang tertuju. Gelombang kepongahan menyapu, meminggirkan kehendak kalbu, bahkan niat baik itu. Rentan jiwa yang aus, rentan pula moral tergerus.
Satrio Wicaksono! Entah malaikat mana yang membisiki Yu Kemih usai melebur segala bayu, hingga ujung kaki Sang Ksatria tersiram hangat mentari. Pecah tangis membuncah dari kedua mulut tengadah. Si jabang bayi menangis karena memang takdirnya harus menangis. Salam pertamanya kepada dunia dan isinya. Si pelaku perang sabil menangis meratapi kelu nasib. “Kamu ksatria le ... kelak selalu akan bertindak sebagai ksatria, ksatria yang  bijaksana...” doa sang ibu kepada nutfahnya.

***

“Anak jadah ... anak jadah ... “ itu adalah doa-doa yang selalu mengiring langkah kaki kecil ksatriamu. “Simbok, siapakah bapakku?” ratap anakmu memohon belas kejelasan yang tersimpan nyaman di balik lemah dadamu. “Simbok, ceritakan kepadaku di mana bapakku, ceritakan kepada mereka kehebatan bapakku, agar mereka tahu bapakku bukan orang sembarangan ...“
“Le, kamu adalah ksatria, bahkan ketika kamu masih ada di perut Simbok, kamu adalah ksatria dan akan terus seperti itu di hidupmu kelak. Kau adalah ksatria ...”
“Simbok ....”
“Le ...”
Bening kilau air berkaca-kaca dari dua pasang mata, membasahi  tautan erat dua pasang tangan lemah. “Le, omongan mereka tak ada artinya bagi seorang ksatria seperti dirimu ...”
“Simbok ... aku mencintai simbok, seperti simbok mencintai aku ...”
Rapat tangan terkemas, tak akan lepas meski menghalang napas.
***
“Simboookkkk .....!” Jangan tinggalkan Satrio ya Mbok ... aku mohon ... “satu ratap tak genap bersambut, ratap berikut tak sabar beringsut.
“Le, Simbok janji setelah bekal masa depanmu sudah Simbok dapat, simbok segera berada di sisimu lagi”
“Tapi aku takut Mbok, aku takut kehilangan Simbok ... terus aku sama siapa Mbok ...?” tak kenal henti, jerit hati ingin segera terlunasi.
“Le, Mbokdhe Mani itu sama juga dengan Simbok Le ... Mbokdhe Mani juga sayang Satrio, sama seperti Simbok ...”
“Tapi ... aku ingin Simbok ...”
“Le, ingat kata Simbok, kamu adalah ksatria ...”
“Simboookkkkk .....!!!” tangan lemah tercerabut dari hati yang gerah. Lunglai jantung hati rela tertinggal, demi mengais mimpi di negeri yang janggal ...

***

Mata cekung semakin linglung, tersaput kelam sederet mendung. Kepasrahan menelikung asa yang terkandung, di balik jiwa lemah yang semakin bingung.
“Mbok Kemih ... Satrio tidak perlu bapak Mbok, sosok bapak itu ada di jiwa Mbok Kemih ...”
“Apa iya Mas ...ih hik ... hik ... hik ... tawamu kali ini agak aneh terngiang di telinga hatiku. “Dua tahun dulu aku abaikan dia ... seumur hidup penyesalan tak kuasa kuhapus ...”
Aku yakin itu bukan suaramu Mbok, itu adalah bisik malaikat yang dulu juga membisikimu untuk memberi sebutan satrio kepada anakmu kala terlahir di dunia.
“Enak ya Mbok waktu kerja di Malaysia?” kataku sekata-kataku, karena memang aku tak tahu lagi harus berkata apa.
“Enak jualan karak ini Mas ...” jawabmu sejawab-jawabmu, karena memang agaknya kau juga  tak tahu harus menjawab apa.
Aku menemukan satu lagi sebuah pintu misteri dari jawabanmu itu.
“Nggak ada harganya ya Mbok? Lebih mahal karak ...”
Lemah kau mengangguk. Sekali lagi, mungkin itu bukan anggukanmu, tetapi malaikat yang tak pernah bosan menemanimu.
Jauh matamu menembus awan, sejauh hidupmu tuk menebus angan ...

***

Satu hari berlari, satu minggu berlalu, tak jua aku bertemu, dengan sang pemilik asa sendu. Tak terngiang lagi bait tersenandung, kala aku menjemput mimpi tersambung.
Ada sebersit rindu yang menyeruak di salah satu ruang batinku. Kerinduan kepada sapa lugumu. “Mas ... ih hik .. hik ... hik ...” demikian senantiasa saat kita bersua muka, meski barang sejenak. Tawamu yang selalu mengiringi derai ocehanmu itu, seolah tak lelah memancing naluri ruh kebaikan di diriku agar bisa terwujud dalam segala tindakanku.
Satu lagi yang membuatku nyaman mengenalmu, kepasrahanmu! Kau tidak seperti kebanyakan penjual, yang seolah begitu memaksa orang untuk membeli jualannya. Begitu ngotot dengan segala upaya agar dagangannya tertukar dengan lembar-lembar kertas yang terasa nikmat di genggaman. Sebuah dogma mekanisme pertahanan hidup, jika keserakahan terlalu frontal sebagai cerminan deskripsi kehidupan.
“Bu, kok sudah lama Mbok Kemih nggak kelihatan ya?” tanyaku kepada seorang ibu yang membuka toko di depan sekolah anakku. Seorang ibu yang juga kerap membeli karak Mbok Kemih.
“Iya ya Mas, saya juga mbatin ke mana itu Si Mbok Karak?” jawab si ibu.
“Rumahnya mana sih Bu?” tanyaku sekedar ingin tahu.
“Mojo Mas, itu lho sebelah timur jembatan Mojo ...”
Selepas menaruh mimpiku di peraduannya, secepat kilat aku menuju rumah Mbok Kemih. Rasa penasaran yang menggelayuti benakku, mendorong kakiku tuk menemukannya.
 Tak sulit ternyata mencari rumah Mbok Kemi, meski hanya berbekal petunjuk seadanya. Mbok Kemih begitu terkenal dengan sebutan Mbok Kemih Karak.
Hati terasa tercekat kala kaki semakin mendekat, sebuah bilik tersekat. “Permisi ...?’ hening bergeming.
“Permisi ...?”
“Cari siapa Mas?” kutoleh ke belakang, asal suara.
“Mbok Kemih ada Bu?”
Jawab yang kuharap, bening air mata kudapat. Lembut, pelan ... pelan sekali ... menetes ke bumi.
“Kemih sudah nggak ada Mas ...”
Tak kuasa aku melepas tatap mata terhadap si ibu. Tak kuasa aku tuk sekedar menggeser satu syaraf di tubuhku. Segala perintah otakku menembus kelam tembok hitam ... diam ... temaram .
“Dia cuma bilang capek Mas... terus pamit tidur ... oalaah Kemih... Kemih ....”
“Siapa Mbokdhe?” lemah suara terucap mengiring lemah raga yang kian mendekat. Tak kuasa menahan gundah, satu bait kuucap, terperangah, “Satrio ...?” Tatap pasrah sang bocah di atas sebuah kursi roda, guratkan setitik jengah. Kugeser seratus delapan puluh derajat kepalaku, kualihkan tatapanku ke arah ‘Mbokdhe’ dengan sejuta samodra ketidakmengertian. Sang Mbokdhe mengangguk.
“Dua puluh lima tahun yang lalu Mas, ketika ditinggal Kemih ke Malaysia ..., panas badannya tidak turun-turun hingga seperti inilah Satrio ...”
Susah ... susah sekali meski sekedar untuk menelan ludahku sendiri.
Mbok Kemih ... kenapa Kau begitu pengecut? Tungkakmu begitu kuat menapak aspal jalanan, tapi liat Satrio! Tungkak yang tak pernah terusik kuatnya gravitasi bumi! Tidakkah kau lihat itu semua hah?!

Solo Mei 2012

Jumat, 23 November 2012

Peti Mati Berjalan Seorang Diri




Lemah kidung hujam pekat hitam
di atas bale warna-warni
kotak kecil jadikan riak keberuntungan
ikuti arah angin terlerai

Riang-riang nyanyikan hasrat
meriap membelenggu kaki hati
senyap mendengar tenggelam
berlajur-lajur waktu menuai

Derai lelehan nanar sukma
jelajahi sembilu janji
menghampar, menyangkar, memahat
sombong sekat sekat jeruji

Peti mati berjalan seorang diri...


(Solo, Maret 2012)

Kamis, 22 November 2012

Salam Sepotong Roti




Mulut bocah itu terperot-perot menahan air liur agar tak tumpah keluar. Mata beningnya tajam menatap sebuah pajangan. Pajangan yang terbuat dari kaca tanpa lis di siku-sikunya. Rapi sekali semua siku pajangan itu. Tampak seolah tanpa sambungan sama sekali. Pajangan itu juga sangat bening hingga tak nampak sebagai penyekat antara barang yang tertata di dalamnya dengan mata yang memelototinya. Termasuk mata bocah itu. Seorang penjaga dengan lap di tangan selalu pada posisi siap siaga. Begitu setitik noda mampir dan tertinggal di kaca itu, secepat kilat dia berlari. Dia lap kaca itu hingga kembali seolah tak terlihat. Saking bersihnya.

Penjaga toko itu, ah begitu pinternya si pemilik toko roti itu menemukannya. Dia lebih pantas duduk di belakang meja. Duduk dengan dasi menggantung di leher. Kulit tubuhnya begitu bersih. Rambut mengkilap klimis. Menjadi begitu konyol menyaksikan anatomi tubuh yang begitu bagus itu, harus menenteng lap di tangan. Memakai topi koki dan memakai celemek. Anomali itu menjadi semakin komplit dengan peran senyum dan sapa basa-basinya. “Selamat siang, silakan Ibu ...” katanya sambil membukakan pintu yang kesemuanya juga terbuat dari kaca itu. Sapa yang selalu diiringi dengan senyum ramah. Meski semua itu tak digubris oleh orang yang disapanya. “Terima kasih telah mengunjungi toko kami Bu ...” katanya lagi menutup prosesi transaksi mereka yang mendatangi toko itu. Tak peduli setinggi gunung beban di hati. Tak peduli nafasnya hampir terhenti mikir angsuran kredit motor yang sudah jatuh tempo. Mulutnya harus selalu menyemburkan senyum dan sapa ramah tamah. Hebat!

Mata bocah itu seakan begitu enggan kala harus menggesernya lepas dari sepotong roti di dalam kaca itu. Sepotong roti berbalut wijen, dengan isi daging dan taburan coklat serta keju di atasnya. Di raut wajahnya terlintas sebuah kepasrahan. “Ah, seperti apa ya rasanya ...” demikian kira-kira harapannya. Membayangkan kala roti itu masuk ke dalam mulutnya dan mengirimkan sinyal-sinyal kelezatan ke seluruh syaraf perasanya.
Tak sadar tangannya memencet-mencet saku bajunya. Mencoba menaksir jumlah sisa recehan hasil jerihnya kemarin. Sampai kapan kiranya jumlah uang di sakunya itu kuasa menebus sepotong roti itu.

“Hei, jangan di situ mengganggu orang yang mau masuk toko!!” teriak penjaga toko itu kepada si bocah. Lenyap dalam sekejap segala keramahannya. Berganti dengan lukisan kemurkaan yang memenuhi wajahnya. Seolah menemukan pelampiasan. Alamiah sekali kegusarannya meluncur deras dari mulutnya. Sangat berbeda atmosfirnya dibanding ketika keramahan yang keluar dari mulutnya. Keramahan basa-basi itu!

Kokoh bergeming sepasang kaki mungil itu. Sungguh luar biasa hasrat di hati bocah itu. Hasrat yang mampu memompa air liur deras meronta. Mampu mengalahkan perintah logika otak. Mampu mengesampingkan segala himpitan yang mencoba menghalanginya. Gerimis pagi yang semakin rapat temani air liur yang semakin berat.

“Anak gendheng! Adik-adikmu menunggu di rumah menahan lapar tuh!!” teriak seorang perempuan paruh baya. Di tangannya, di sela-sela jari tengah dan telunjuknya, terselip sebatang rokok yang tinggal setengah. Bocah itu kaget setengah mati. Secepat kilat dia berlari. Berlari membawa harapannya ke perempatan lampu merah tak jauh dari toko roti itu. Sekam hasrat membara di hati anak itu bagai tersiram air. Padam seketika. Adalah ibu dari bocah itu sendiri yang memadamkannya. Alih-alih mewujudkan harapan itu.

“Anak kurang ajar, suruh bantu maknya malah semaunya sendiri ...” semakin ngawur ocehan si ibu.
Si penjaga toko tersenyum menyeringai. Tugasnya selesai dengan sendirinya. Perlahan dia mendekat ke kaca di mana bocah itu tadi berdiri. Hati-hati dia mengelap sisa uap air dari mulut si bocah yang tertinggal di kaca itu. Pelan, diulang lagi dan lagi, sampai kaca itu hampir tak terlihat. Saking bersihnya. Puas hati, dia kembali ke balik pintu, tersenyum. Siap menjual keramahannya lagi.

***
 
Siang itu, mentari tak kuasa melakonkan seluruh perannya sampai tuntas. Mendung tebal hitam membekap kegagahan sang surya menyirami bumi dengan cahayanya. Bocah di toko roti itu bersiap hendak meninggalkan perempatan lampu merah kala uap air mendung tak kuasa lagi menahan gravitasi bumi.
Persis di depan toko roti itu, hujan tak bisa lagi diajak berkompromi. Dia arahkan tubuhnya ke emperan toko. Bukan menatap hujan, berharap lekas menghilang. Dia malah membelakangi hujan di depan toko itu. Menatap sepotong roti yang terus mengusik hidupnya itu.

“Seandainya saja hari ini Emak membolehkan aku menggunakan seluruh uangku ...” batinnya yang secepat kilat terhapus wajah dua adiknya yang selalu menanti kedatangannya. Menanti dia datang untuk kemudian tertawa-tawa bersama menuju warung Mbah Marno tetangganya. Dan seperti biasa, pecah keriuhan tawa mereka selepas pulang dari warung itu. Tawa kebersamaan mereka. Tawa yang semakin keras terdorong jajanan di tangan mereka. Jajanan seharga limaratus rupiah.
Sebenarnya cukup. Lebih dari cukup uang bocah itu untuk ditukar dengan roti lembut di depannya itu. 

“Seandainya saja Emak .... ah biarlah, mungkin Emak saja yang belum dapat kerjaan. Nanti kalau Emak sudah kerja, aku pasti diijinkan memakai uangku untuk membeli roti itu ...”

Di dalam toko, seorang perempuan cantik luar biasa terus memperhatikan si bocah. Sebentar dia mengamati roti-roti itu, sebentar dia melirik ke arah bocah itu. Senyum tersungging di bibirnya yang selalu basah . Tiba-tiba dia letakkan beberapa potong roti yang telah ada di tangannya. Dia keluar dari pintu kaca itu, menghampiri sang bocah.

“Mau roti?” sapanya.

Bukan jawaban yang diberikan si bocah itu. Syaraf di hidungnya memerintahkan mulutnya untuk terus bersin. Bukan hawa dingin pemicunya. Bau harum perempuan cantik itulah sumber masalahnya. Semerbak tubuh perempuan itu begitu asing diterima hidungnya. Hidung yang telah terbiasa bergulat dengan aroma keringat pemicu semangat. Semangat untuk bertahan hidup!

Perempuan itu tak kuasa menahan tawanya. Beringsut dia masuk kembali ke dalam toko. Dia ambil sepotong roti. Dia berikan kepada si bocah. Si bocah ternganga, seolah tak percaya mimpinya menjadi nyata.

“Terima kasih Bu ...” katanya sembari bergegas pergi menerobos derasnya hujan. “Eh, ke mana? Masih hujan kok nekat?” teriak si perempuan tak habis mengerti.

Tak sempat menjawab, bahkan menoleh pun juga tak sempat. Lurus pandangannya ke arah rumah di mana adik-adiknya menanti. Ingin dia berbagi kebahagiaan yang didapat hari itu.

“Buukkkk!” licin lantai di depan toko itu karena air hujan, tak mampu dipijak dengan benar oleh kaki si bocah. Dia jatuh terlentang. Cepat dia balikkan tubuhnya. Matanya liar mencari-cari roti yang terlepas dari genggamannya. Sejenak dia terpaku. Roti itu terus menjauh darinya. Terbawa arus got yang kewalahan menampung tetesan air hujan. Matanya menerawang, dadanya berkecamuk. Entah suara apa yang ada, dia sendiri tak mengerti. Memelas sekali rona wajahnya kala dia bergumam, “Sepotong roti ... sampaikan salamku kepada ikan-ikan yang akan menikmati tubuhmu. Sampaikan juga salamku kepada lalat-lalat yang esok akan menggerogoti sisa tubuhmu, sampaikan ...”

Gontai dia melangkahkan kakinya pulang. “Maafkan aku adik-adikku, kesenangan hari ini tak jadi kita nikmati. Hilang karena kebodohanku ...”

***

“Hei, bangun Nak ... Emak bawakan sesuatu buat kalian ...”

Bocah laki-laki itu kaget, serempak terjaga dari tidurnya. Duduk di dipan tidurnya seraya menggosok-gosok matanya dengan jari-jari tangannya.

“Waahh Emak ... terima kasih Mak ...” kata si bocah sambil terus matanya memandangi tiga buah roti. Tiga buah roti yang terbalut wijen, dengan isi daging serta taburan coklat dan keju di atasnya.

“Adik ...! Eh adik ...! bangun, Emak bawa roti ...” bisiknya sambil sikunya menggoyang-goyangkan pantat kedua adiknya. Kedua adiknya lebih memilih menikmati tidurnya. “Eee ya sudah ... aku habisin sendiri rotinya ...” katanya seraya menjulurkan tangannya hendak meraih roti itu.

“Eit! Tunggu ... mandi dulu, baru boleh makan roti bareng-bareng ...” kata emaknya.

“Siap Mak!”

Segera dia bangkit dari tempat tidur. Menuju ke balik sekat papan sebuah kamar mandi. Tak sabar ingin segera dia tuntaskan mandinya .........

“Byuurrrrr ...!!”

“Heh, banguunn!!!! Dasar pemalas!! Sudah bangun malah tidur lagi di sini!” teriak emaknya sambil memegangi ember yang telah kosong isinya. Isinya telah berpindah ke seluruh tubuhnya. Isi ember yang begitu ampuh mengusir jauh-jauh sisa kantuknya di pagi itu.

“Duh, cuma mimpi ...“ desisnya.

Sepuluh menit berselang. Si bocah sudah gagah dalam balutan seragam sekolah. Seragam berwarna merah putih. Putihnya semakin tua warnanya. Sebaliknya merah seragamnya telah memudar di sana-sini. Dia awali hari, mantap bersiap menyongsong masa depan. Tak peduli meski kegelapan tak pernah henti menemani. Tak peduli mesti tak pernah ada sarapan pagi.


Solo Juli 2012

Rabu, 21 November 2012

Tapak Kaki di Persimpangan Jalan




Aku masih berdiri di hembusan angan, kala kau mengeja sebuah peristiwa
dari balik kelelapan yang bersemayam, pada samar riak kecil di kaki langit
kelu meski tak pernah mampu membisu, melumut membekap sebuah harapan

Senyummu ramah menyapaku, “Selamat pagi ...”
ah, tak mungkin memarahimu, karena selalu terselip sepotong rindu
tuk menyampaikan niat, hingga tak kusadari tubuh ini pelan menggeliat

Seharian masih terkawal penat, diam di hamparan batas yang hampir tak terlihat
tak hendak bersenandung, menatap awan itu kian menggantung
tak pernah terjamah, pelita jalan menuju rumah

Tapak kaki di persimpangan jalan, dapatkah kau piara hidupku?
Sebab hanya satu, hanya sebuah keinginan ... pelan tanggalkan
rentaka fatwa yang terus berdenyut, membarut nyanyian hati

kusimpan mimpi itu
sejenak mengurai malam yang merisaukan tempat tidurku
kemudian tertawa ke arahku... kala air liur pagi itupun belum terjamah

Solo, Aug 2012

Selasa, 20 November 2012

Bibit, Bebet, dan Bobot



Di kalangan masyarakat tradisional Jawa, salah satu persyaratan agar terpilih menjadi calon pasangan adalah bila bibit, bebet, dan bobot memadai. Persyaratan itu bukan bermaksud diskriminatif. Demi kelanggengan rumah tangga yang akan dibangun, saran itu masuk akal. Pasangan diharapkan serasi agar tidak gampang goyah setiap kali ada cobaan. Yang dimaksud bibit adalah asal-usul keturunan. Bebet adalah asah-asih-asuh yang diperoleh dari lingkungan terdekat maupun masyarakat. Bebet membantu membentuk sikap dan perilaku maupun budi pekerti. Sedangkan bobot menunjuk pada bekal yang dimiliki, apakah berbentuk kekayaan atau status sosial. Dalam masyarakat homogen yang serba tertib, persyaratan semacam itu wajar. Bukankah burung-burung bersayap sama sebaiknya terbang bersama? Pasangan serasi mencegah kegagalan. Tetapi untuk masyarakat penuh ketimpangan, lain ceritanya. Idealnya, persyaratan bibit-bebet-bobot diberlakukan juga ketika kita mencari pemimpin. Misalnya pemimpin KPK yang akhir-akhir ini dihebohkan. Kita banyak mendengar komentar. Antara lain, jangan terpesona oleh nama besar atau kepopuleran. Telusuri rekam jejak para calon. "Fit and proper test" oleh DPR seharusnya memadai, sekalipun adakalanya menjadi "not proper" karena kepentingan-kepentingan tertentu.

Penyerapan Pendidikan dan Pengalaman
Mengenai "bebet", ada aksioma bahwa pendidikan diawali sejak lahir dan berakhir saat ajal menjemput. Sepanjang hidup, manusia belajar memberi respons terhadap kehidupan. Itu salah satu aspek pembelajaran formal maupun informal. Lagipula sebenarnya pendidikan formal adalah kelanjutan dari asih-asah-asuh yang diperoleh manusia sejak awal dari orangtua, kerabat dan lingkungannya. Nilai-nilai, sikap dan pola perilaku diteruskan ke generasi berikutnya; begitu pula himpunan pengetahuan dan ketrampilan yang diajarkan lewat lembaga-lembaga pendidikan. Dengan demikian eksistensi masyarakat terjamin kelangsungannya, menembus waktu.
Dalam sejarah modern, segenap masyarakat di mana pun memiliki lembaga-lembaga pendidikan formal untuk membantu memberi bekal hidup kepada kalangan muda. Fungsi pendidikan formal semakin penting seiring dengan makin kompleksnya kehidupan masyarakat dan makin tingginya tuntutan standar kinerja. Dalam masa pembelajaran formal itu, anak-anak juga belajar bahwa masyarakat menilai mereka dari kemampuan dan kinerja mereka, suatu pelajaran yang tidak selalu sesuai dengan apa yang dialaminya kemudian setelah mereka selesai pendidikan. Kenyataan ini menimbulkan pelbagai benturan nilai yang terserap selama masa pendidikan. Misalnya, bagaimana memilih antara ekonomi yang pertama-tama harus mengutamakan keuntungan individu/korporasi, dengan ekonomi yang pertama-tama harus mengutamakan kesejahteraan publik?
Mengenai pendidikan formal macam apa yang tepat untuk masyarakat kita, Prof Dr Soedijarto MA, dalam bukunya "Pendidikan Nasional Kita" (2008) antara lain menyatakan, "Untuk mempertahankan bentuk negara kesatuan perlu dilaksanakan dan diselenggarakan satu sistem pendidikan nasional dan perlu terus dimajukannya kebudayaan nasional." Berbicara tentang salah satu karakteristik struktur bangunan negara Indonesia, dia berpendapat, "Negara kebangsaan modern yang dicita-citakan oleh Bung Karno adalah negara yang didukung oleh seluruh rakyat yang memiliki pengalaman kolektif sejarah yang sama.... Terancamnya integrasi nasional baik secara sosial, politik dan teritorial yang kita hadapi pada saat ini tidak lain karena banyak pemimpin melupakan hakikat negara Republik Indonesia sebagai negara kebangsaan yang demokratis. Bukan demokrasi liberal yang berdasarkan 'free-fight liberalism' yang semangatnya adalah mengalahkan lawan politik dan merebut kekuasaan." Yang diharapkan Prof Soedijarto: demokrasi dengan semangat menemukan konsensus nasional demi keutuhan bangsa dan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Keadaan Darurat Menuntut Keputusan Cepat
Dengan berbagai silang opini dan tarik-menarik kepentingan mengenai berbagai persoalan nasional, sulit bagi masyarakat maupun kalangan pimpinan bisa cepat bersepakat tentang masalah-masalah muskil, antara lain menemukan pemimpin yang tepat untuk KPK, misalnya. Seperti dalam perkawinan, bibit-bebet-bobot tidak menjamin kelanggengan. Posisi tersebut seperti telur di ujung tanduk yang mudah jatuh pecah karena ramainya tarik-menarik kepentingan. Selain itu, nilai-nilai masyarakat pun tidak lagi mudah dipetakan, karena apa yang diajarkan orangtua dan di bangku sekolah berbeda dengan yang terjadi di lapangan. Berbagai godaan dan cobaan ramai lalu-lalang.
Walter Lippmann (1889-1974), jurnalis-filosof terkemuka tamatan Harvard, sepakat dengan filosof Yunani Plato (427-347 SM). Mereka menganggap publik sebagai kumpulan orang bingung di tengah-tengah ramainya perang opini. Berkaitan dengan itu, dia mengatakan dalam karyanya "Public Opinion" (1922), ada kesulitan mendalam tentang penggunaan akal sehat untuk menghadapi kehidupan politik yang tidak masuk akal. Seperti Plato, dia juga berpendapat bahwa nakhoda tahu apa yang terbaik untuk kapalnya. Tetapi yang dalam benak nakhoda tidak mudah dikenali awak kapal. Sementara sang nakhoda terpesona oleh gemerlapan bintang di langit dan gerak angin, dia tidak menyadari bahwa awak kapal perlu tahu apa yang dia ketahui. Tidak ada waktu untuk saling berkonsultasi. Sedangkan krisis menuntut keputusan dalam hitungan detik. Maka akan sia-sia untuk mengatakan agar memberikan pembelajaran pada awak kapal. Sebab, teori bagus di darat, belum tentu tepat untuk mengatasi keadaan darurat, ketika kapal sedang oleng hebat diterpa badai. Singkatnya, konsep bibit-bebet-bobot yang diperkirakan menjadi persyaratan ideal untuk perkawinan, tidak selalu menjamin kesuksesannya. Sama halnya, konsep itu belum tentu tepat untuk persyaratan memilih pemimpin, karena kondisi kehidupan politik yang sering tidak masuk akal.

Titian Sukma




Duduk seorang diri di atas tungku yang panas membara
Aneh! Terasa sejuk semilir menyeruak di sela-sela lobang yang ada di sana
Kurasakan secuil demi secuil kulitku terkelupas nikmat menambah hebat nyala tungku
Bau sangit menerobos  hidung menuju syaraf menyegarkan jiwa
Aku berdiri, mengambil celana untuk mengganti celanaku yang telah menjadi abu
Bersimpuh lagi di atas tungku yang mulai redup menjilat udara
Nyala tungku seketika menggila, mengiring bau sangit lagi, bau penyejuk sukma
Bosan duduk, mengingatkanku terapi ala negeri tetangga jauh
Di mana seorang teman meniti titian nasib di sana
Aku berdiri dengan dua tanganku, tungku ada di antara dua lenganku
Aku dekatkan kepalaku di mulut tungku yang mulai redup lagi
Bagai disiram premium yang semakin susah tuk ditentukan nominalnya itu
Meliuk, menari, membakar segala rambut yang ada di kepalaku
Kulit-kulit kepalaku mengkerut bagai kerupuk yang digoreng di penggorengan yang terlalu panas
Bau sangit yang jauh lebih kuat seketika beterbangan, mengisi ruang-ruang udara
Sebagian memasuki rongga-rongga di dalam ruang kepalaku
Membuat tegak binar mataku, hingga seutas senyum tersungging di mulut terbalikku
Aku bangkit berdiri, siap mengayun langkah meyusuri dinginnya hati ...

Solo, Mei 2012

F i t r i




“Teh Mas ... ? Aku buatin teh ya?” senyum dan sapa ramah keluar dari mulut Fitri. Fitri, janda dua anak yang tinggal di kos-kosan depan rumahku. Bukan kos-kosan sebenarnya. Sebuah rumah kosong yang oleh pemiliknya disekat-sekat, dibuat kamar terus disewakan. Janda dua anak yang harus menggantungkan hajat hidupnya kepada para bapak yang membutuhkannya. Membutuhkan kehangatan tubuhnya yang lumayan sintal. Meski untuk ukuran kualitas wajah, cuma layak ada di posisi lima dari rentang skala nilai antara empat sampai sembilan. Yah, kalau dipaksakan sedikit bisalah bertambah setengah poin.

Aku menggeleng. “Habis minum kok Fit” jawabku.

“Mana?” katanya ketika tak mendapati apapun di meja teras. Meja di depan aku duduk. Duduk menikmati pagi hari yang cerah kala aku telah selesai melakukan tugasku. Mengantar anakku sekolah.

“Kok selalu gitu sih Mas ... takut aku pelet ya?”

“Halah Fit .. tak kau peletpun aku sudah terkagum-kagum melihatmu ...” kataku disusul kekeh tawa Fitri. 

“Awas lho Mas, nanti jadi kenyataan ... “ timpalnya sembari meninggali aku dengan derai tawanya yang tak putus-putus itu.

Pantatnya yang bulat selalu saja bergerak-gerak kala dia berjalan. Bergerak berlawanan dengan langkah kakinya. Kala kaki kirinya melangkah, belahan pantat kanannya yang bergoyang dan sebaliknya. Begitu seterusnya sampai hilang ditelan tembok pagar rumah kosnya. Lucu, sungguh hanya itulah kesan yang muncul setiap kali melihat Fitri dari belakang. Melihat dari belakang ketika dia sedang berjalan.

Pekerjaan utama Fitri sebenarnya adalah sebagai buruh di sebuah pabrik tekstil. Namun, uang enam ratus ribu rupiah gajinya itu, tidak sanggup menopang hidupnya selama tiga puluh hari. Menanggung satu anak kelas 4 SD yang ikut dengannya di kos-kosan dan satu anak yang ditinggal di kampung, diasuh oleh neneknya. Suaminya, empat tahun lalu telah meninggalkannya. Minggat entah ke mana. Kata Fitri, laki-laki yang dulu menjadi suaminya itu kini telah mati.

“Bener Fit?” “Matinya kenapa?”

“Mati perasaannya Mas ... mati kasih sayangnya terhadap anak-anak, darah dagingnya sendiri ...”
Sayang, kerja paruh waktu yang dia tekuni bukan di jalan yang semestinya. Tak lelah dia berburu bapak-bapak yang lebih memilih memanjakan alat kelaminnya daripada membaca ayat-ayat yang ada di dalam kitab suci. Dan, kebanyakan dari mereka sudah bukan bapak-bapak lagi. Lebih pantes disebut kakek-kakek. Tak pernah lelah, Fitri selalu menaksir untuk menentukan itulah tipe bapak-bapak yang bisa dia jadikan sasaran tembak.

Gaya bicaranya yang ceplas-ceplos itu sungguh bukan merupakan gambaran seorang lonte murahan. Entah mengapa, enak mendengarnya kala wajah tanpa dosanya mengiringi ocehan tentang dunianya itu. Sungguh sangat mengherankan, jauh dari kesan norak dan murahan. Meski topik yang dibahas sungguh mencerminkan itu.

***

“Eh Fit ...” godaku suatu ketika. “Gajimu sebulan jadi sama dengan gaji manajermu di pabrik ya ...?”

“Oooalah Mas ... Mas ... “

“Lho, kan banyak bapak-bapak pacarmu itu?”

“Mas ... mereka semua itu onderdilnya menyesuaikan dengan umur. Yang tidak menyesuaikan cuma moralnya ...” Ha ha ha ..!! ceplosnya tanpa tedeng aling-aling.

“Lha itu kan nggak masalah. Yang penting kan moralnya itu kan yang menghasilkan uang buatmu?” “Semakin liar moralnya kan semakin deras aliran uangnya ke kamu?”

“Mas Agus ini gak paham-paham ... Begini, taruhlah ada empat bapak. Setiap bapak itu sudah hebat bila dalam sebulan muncul keinginannya ..  ha ha ha ...”

Ocehannya terhenti sejenak. Sejenak untuk melepas tawa. Tawa yang tak bisa dia tahan.

“Oh begitu ya, kalau gitu ya sebulan cuma dapat berapa itu ...?”

“Yah .. paaling ninggalin dua ratus .. kali empat delapan ratus. Beli bedak seratus ribu. Lain-lain? Tisue? Rokok?”

“Dua ratus itu juga sampek berbagai jurus Fit?” tanyaku sambil menahan tawa.

“Ya gak lah Mas ... malah setruk nanti kalo kebanyakan polah ...”

“Pokoknya datang, terlentang, kejang-kejang terus pulang ...hahaha ...!” lanjut Fitri ditutup dengan tawanya yang keras.

“Ha ha ha ...!” aku ikut-ikutan ngakak tak tertahankan.

Hahhh, bikin pening saja perempuan bernama Fitri ini!

“Lha kalau nggak seberapa ya mbok ditinggal saja Fit ... cari saja bapak yang jelek sekali tapi dhuitnya banyak kan ada, terus dikawinin, maksudku dinikahin ...” kataku sekenanya.

“Ha ha ha ...!!” tanpa komando, serempak tawa kami meledak lagi.

“Mas, yang seperti itu menjadi sangat ganteng di mata perempuan-perempuan model aku ini” katanya lagi.

“He he he ... jadi ketat ya daya saingnya “ sahutku. “Lho Fit aku kan bilang yang sangat jelek, bukan yang jelek. Mungkin saja peminatnya lebih sedikit ...”

“Dah pokoknya gak ada pengaruhnya mas, meski berwajah setan sekalipun ...” jawab Fitri.

“Ha ha ha ...” tertawa lepas Si Fitri. Tawa, sesuatu yang bisa dia nikmati tanpa harus mengurangi penghasilannya.

“Eh Mas, tahu nggak. Pernah ada lho seorang bapak. Lama tidak menemuiku. Giliran ketemu aku tanya, 

"Pak, kok lama nggak menemui Fitri? Keluar kota ya?’ Tahu nggak jawabnya apa?"

Aku cuma bengong, mataku mengikuti gerak-gerak mulutnya yang fasih bercerita itu. Polos, sungguh polos kesan wajahnya ketika berceloteh.

“Ya maaf Ndhuk ... kepenginnya baru sekarang ini ...” Ha ha ha. “Tiga bulan Mas, tiga bulan baru muncul konaknya!”

“Hua ha ha ... !!!”

Batinku juga menyuarakan pendapat yang lain, “Kamu saja mungkin yang dikadalin Fit... mungkin saja kakek itu rajin mencuri uang bininya dulu. Dikumpulin agar bisa membekapmu. Nah, selama masa menabung itu dia bergumul terus dengan bininya untuk mengisi kerinduannya terhadapmu”.

“Sudah gitu Mas ... berjam-jam nggak tegak-tegak sampai tak marahi habis-habisan....!” katanya lagi.

Kata-kata yang menepis kemungkinan yang ada di benakku tadi. Benar kata Fitri, tiga bulan sekali! Fit .. Fit,  Kayak dokter yang menerima kontrol pasiennya yang sudah mau sembuh. Ha ha ha ...

Oh ya, ada satu lagi pengalaman konyol Fitri. Pagi hari itu, sewaktu aku mengantar sekolah anakku ada seorang bapak yang gelisah duduk di atas sadel sepeda motornya. Dia ada persis di mulut gang masuk kampungku. Dan di siang hari sewaktu aku berangkat menjemput anakku, eh bapak itu masih di situ! Seribu satu gambaran batin tercermin di wajahnya. Wajah yang sudah mulai terdapat gurat-gurat lipatan di berbagai bagiannya itu.

Sesampai aku di rumah, Fitri tergopoh-gopoh menemuiku.

“Mas, liat bapak yang di mulut gang itu?”

“Iya tuh, lama sekali bapak itu di situ. Memangnya kenapa?”

“Itu menunggu aku Mas, aku lagi males. Tak kibulin saja dia. Aku minta uang seratus ribu, aku pamit mau ngasih uang itu dulu ke anakku. Terus aku tinggal tidur seharian ini ...”

Hahaha !! Gendheng ... sungguh gendheng kamu Fitri!! Perempuan gila!!

Tak terbayang apa yang ada di benak bapak tadi. Tak terbayang nanti pelampiasan apa yang akan dijalankan bapak itu tadi. Mungkin sekali sadel sepeda motornya itu sekarang sudah bolong di sana-sini. Bolong sebagai pelampiasan amarah ‘senjata’ si bapak. Hahaha ... Tak terbayang!!

***

Sore itu, asik aku mengamati anak-anak kampung yang bermain layang-layang di depan rumahku. Anganku menerawang jauh ke masa kecilku. Begitu luas tanah kebun tebu di belakang rumahku. Hingga begitu bebasnya kami bermain di tanah yang lapang itu. Termasuk main layang-layang. Mau berlari berapa kilo meter membawa layang-layang itu agar dapat terbang, bukan merupakan sebuah masalah. Sungguh kontras dengan anak-anak di hadapanku itu. Mau bergeser sedikit saja agar layang-layangnya kena angin, kebentur tembok. Mau mundur sedikit, menabrak gerobak bakso Pak Man yang menjorok ke jalan. Menjadikan aku rindu akan desaku. Tanah lapang ...  suara jangkrik ... bau tanah yang kena hujan pertama kali, ... ah!

“Mas, maaf tahu kosnya Fitri?” tiba-tiba lamunanku buyar oleh suara seorang ibu. Pantes juga disebut seorang nenek.

“Itu Bu ..” jawabku sambil jariku menunjuk ke depan. Ragu-ragu aku menyebut dia ‘Bu’. “Tapi keliatannya nggak ada, motornya gak keliatan ..”

“Ibu ini ..., ibunya Fitri?“

“Oh, bukan Mas ...Anu kok Mas, itu lho Mas kok ya kebangetan, suami saya itu....” ada selintas kejengkelan yang bersenyawa dengan kepasrahan pada nada suara si ibu.

“Sakit berbulan-bulan saya rawat dengan sabar, eh sudah sembuh malah kurang ajar, kenapa dulu tidak kubiarkan modar”...

 “Yang perempuan itu kok ya sama saja ... tahu sudah kakek-kakek kok ya ditanggapi ...” setitik air mata jatuh di pangkuan ibu itu. “Ini seharian dia tidak keliatan Mas ... pasti juga sama perempuan bejat itu ...” lanjutnya.

Tiba-tiba telepon genggamku berdering. “Mas Agus ...” Belum sempat aku menjawab sudah disusul rentetan kata yang lain. “Mas Agus, tolong aku Mas .. teman kencanku mati di kamar hotel Mas, jantungan ... Masss gimana ini???” Terpancar kepanikan luar biasa dari suara yang aku dengar.

Aku diam, membayangkan Fitri di sana. Sebentar kemudian kebisuanku beralih menghadapi si ibu di depanku itu.

Solo, Juli 2012

Minggu, 18 November 2012

Aprokromatik



Pagi menyapa tidur yang telah terlewati
tawa bocah gerakkan hati tuk meniti hari
kaligrafi yekti sumingkiring dur-kamurkan ati
lurus menembus batas tiada tepi

Dewanggawantah memayuhayuning bawana adi
merajut ekspresi, persepsi Illahi sebuah konsepsi
di pagi yang masih terasa menghampiri
nyaman membabar setiap jengkal langkah kaki

Pagi berikut menjemput, melarut wajah cemberut
mekar landheping satuhu, gong lumaku tinabuh
tanhana laku, laku sapa sira sapa ingsun
terbalut dalam satu dimensi ruang dan waktu

Pagi berikut menuntun, tak berbosan terus menuntun
ndilalah karsaning  Allah, beribu kalbu satu menuju
eling kalawan waspada ing wekasanipun

ikhlas menghadap, menghadap panarimaning pandum


Solo, April 2012

Sabtu, 17 November 2012

Bedah Kondom



Panas terik semakin mengguncang ombak yang garang, menerjang batu karang. Meluluh-lantakkan  indah panorama alam yang lengang. Batu-batu luruh menjadi serpihan, larut terbawa air lautan. Menjauh ... semakin jauh. Samar di kaki pelangi, di antara uap-uap air yang beterbangan, berdiri mengangkang sesosok bayangan. Senyum mengambang, semakin lebar ... dan tertawa menendang serpihan moral. Moral yang kini berserakan di dasar telapak kaki sombongnya ......

Tepat ketika gerbong yang membawa rombongan separuh jiwa  itu berhenti, semua berebut pengin  keluar paling duluan. Tidak seperti biasanya, kali ini di luar gerbong jalanan begitu sempit. Setengah tubuh-tubuh itu menjadi tidak bisa bergerak. Saling menindih. Menumpuk. Akhirnya, setengah tubuh-tubuh itupun tidak lagi bisa bergerak sama sekali. Hanya kedua setengah mata mereka yang dapat digerakkan. Digerakkan meski dengan setengah sudut pandang yang sangat terbatas. Akhirnya mereka sadar, kini mereka berada di gerbong lain. Gerbong yang keseluruhannya berwarna putih.

“Kondom! Aku jadi ingat, ini namanya kondom! Kita sekarang ada di sebuah ujung kondom!” teriak Michael Sperm. “Benda ini rekayasa tuan kita agar kita tidak dapat bersatu dengan setengah belahan jiwa kita di seberang sana”, lanjutnya geram. Tapi tidak ada yang dapat dilakukannya. Pasrah. “Venera Ovumia kekasihku, maafkan aku tak bisa datang menjemputmu ….!”

“Kondom? Apakah ini sama dengan yang kemaren, yang warnanya pink itu?” tanya se-setengah jiwa lain yang ada tepat di sisi Michael.

“Lha iyalah ... itu kan cuma variasi warna aja, biar nggak bosen ngeliatnya ...” jawab Michael sok pinter.

“Geseran dikit dong, aku ketindih ...” lanjut Michael.

“Aduuhh ... maaf ya. Aku juga nggak bisa bergerak sama sekali nih .. maaf”, jawab kolega senasibnya itu.

Di luar, Michael melihat Venera, setengah bagian tubuh pasangannya, tak pernah lelah melambai-lambai,  menyuruhnya datang. Datang membentuk sebuah kesepakatan. Dia berlari kian kemari, tak sabar menanti.
Gimana aku mau ke situ dear say, sekedar untuk melihatmu saja susyaaah, tertindih setengah tubuh-tubuh yang lain nih….” batinnya.

Hurry up Honey, hurry up… can’t wait any longer…, kalau tidak kau cepet datang, tak mungkin lagi nanti kita dapat bersama. My love, I am dying …” kata takdir separuh jiwa Michael di balik sebuah tirai lembek namun alot bukan kepalang. Dia tepat di sisinya, terbatasi sekat tipis yang mirip kaca buram tapi lembut itu.

“Tidak bisa dear say, kita tidak dikehendaki tuan kita untuk bersatu …”.

“Sebenarnya benda apakah yang menghalangi kita ini?”

“Namanya kondom Say. Dipakai para pendahulu kita agar kita tidak bisa mengikuti jejak mereka menikmati indahnya bumi …”

Aduuh … penemuan teknologi baru ya my love?”

“Honey, kondom bukan barang baru. Has been there for many years. Used to be called kapuce” terang Michael kepada setengah belahan jiwanya itu.

“Kapuce? Hey, a little nice short name I think ... Hihihi ... Kondom? something disgusting to my half two ears ...”

Sesaat sempat terbersit keceriaan di setengah wajah Venera. Tetapi sesaat yang lain kemudian ...

Honey, kenapa sih para pendahulu itu tidak menghendaki kita ada. Why …? Apa yang telah kita perbuat? Apa salah kita?” memelas suara Venera.

“Kalau denger-denger sih demi kesejahteraan para pendahulu kita itu. Making their lives better … agar kelangsungan hidup mereka lebih baik ... we did nothing wrong

“Kalau masalahnya seperti itu, kenapa kita yang menjadi korban? Kenapa tidak tatanan kesejahteraan itu yang dibikin lebih baik? Why? It sounds unfair …” semakin memelas suara Venera.

“Bukan cuma itu saja Honey, katanya juga sudah terlalu banyak manusia di dunia sana. Ngeri Say kalau nanti terlalu banyak, bisa meledak katanya … can’t imagine that … hiiii ….”

“Meledak?? We are not extremists, are we? Even we do not have an explosive material???!!”

“Nggak tahulah Say, aku juga bingung …”

“But Honey, apakah Tuhan sebegitu bodonya? Nggak bisa ngitung berapa meter persegi luas ruang mukiman itu, terus dibagi jumlah penghuninya berapa, dapet kaplingannya berapa? Oh my God! God! God!! kesah Venera tak putus-putus.

Aku bener-bener nggak paham my love … I have no idea, sorry

“Jangan pedulikan itu honey, Just look at my half two eyes. Lekas datangi aku, kita nikmati indahnya dunia … please Honey …”

Baru saja setengah tangan Michael mau mencari-cari sesuatu untuk merobek sekat itu, mendadak gerbong itu terangkat. Michael melolong. Venera menyayat-nyayat suaranya, memohon belas kasihan. Namun akhirnya hanya lambaian tangan yang mampu mereka wujudkan.

“Mike ...!!!”

“Venny ...!!!”

***

Aku menyeringai puas. Aku pandangi pacarku yang masih tertidur pulas. Ah, semakin cantik saja dia! Hehehe ... bukan itu masalahnya. Tapi, tak ada lagi kini sebuah kekhawatiran yang bersemayam. Setelah semua usai. Kondom telah menjadi malaikat pelindungku. Pelindung yang membuat hatiku tentram tram ... tram ... tram ...!. Kondom yang kini selalu temani permen dan bolpen di sakuku. Bersama melalui hari-hariku bersama pacarku.

Asyik! Meski kami seringkali harus saling cubit kala harus mendapatkannya. Ih hik hik hik ... Malu.

Orang-orang pintar yang baik hati, kami menunggu aksimu lagi. Tak sabar menunggu Anjungan Kondom Mandiri. Hingga tak perlu lagi ada komunikasi kala bertransaksi. Hanya setan baik hati yang temani.
Setengah jiwaku yang baik bersenandung...  “Ah, menginjak sebuah moral ternyata cukup hanya dengan sarung kelamin ... min ... min.

Menetes air mataku. Air mata sisi baek di jiwaku itu. Maaf.



Solo, Agustus 2012

Jumat, 16 November 2012

Alokasi Hati


senja, ronakan jejak tertinggal
terhenti pada sebuah jasad
masih terhenti …

dan saat gelap pun meronta
menampar senyum yang mencoba membelai
sesayup wajah terlunta
hingga terjatuh …


jejak masih terasa, enggan terlena
menebar kehangatan
berdiam di pangkuan

namun hanya sedikit waktu
takkan pernah kembali

~ pada sebuah jejak, kubaringkan jasad matiku ~