Di parit-parit wajahmu tak pernah henti mengalir tawa
keikhlasan. Gigi setengah tonggosmu yang sebagian besar telah tertata rapi di lapisan-lapisan
bumi itu, kini tinggal tersisa dua di depan, mirip kelinci. Pasti mudamu macam
bekas istrinya Glenn Fredly itu ya ... he..he...he... Dewi Sandra! Ya hampir
lupa aku dengan nama perempuan seksi itu!
“Mbok Kemih ...ih hik ... hik ....hik...” jawabmu kala kutanya
“Eh, Mbok jeneng sampeyan siapa?” Selalu seperti itu, ya seperti itu setiap
kali kau ngomong ... tak pernah lupa kau suguhkan tarian dua gigimu di
sela-sela ocehanmu. “Kemi ... mi ..., apa Kemih ... mih?” “Mih ... Kemih!” jawabmu agak jengkel. Ooalah
... Pak Dokter, mbok tolong diberitahu perempuan ini, apa itu makna kemih.
Mbok Kemi ... eh Mbok Kemih... uang tiga ratus ribu yang
bisa dengan mudah kau selipkan di balik kutangmu itu, kau ubah menjadi
setenggok beban di pundakmu. Kau bawa menyusuri panasnya jalanan beraspal.
Pagi-pagi kau usung mimpimu menuju panggung realita yang kebetulan ada di depan
sekolah anakku. Panggung realita yang kadang membuat syaraf di dadamu mengkerut
... kecut .
“Karaaaakk ...!”
teriakmu dengan tenaga setengah, sebab yang setengah telah kau habiskan tuk
menyatukan dua dimensi ruang terpisah itu. Oh ya Mbok Kemih, sekedar kau tahu,
berplastik-plastik harapanmu itu menumpuk di rumahku. Batinku selalu menyuruhku
untuk sekedar mengurangi satu bebanmu itu setiap kali kita bertemu. Aku sendiri
tidak begitu suka dengan apa yang kau sebut karak itu, apalagi anakku!
Bisa-bisa kau dibunuh jika berani mencoba menawarkan kepadanya ...
“Sudah habis berapa sendal Mbok?” candaku yang kubuat
senyaman mungkin dengan nalarnya. “Sebenarnya awet Mas .. ih hik ..hik ...
tapi, di bawah tungkak pas ini cepet banget tipisnya, tungkak’e jadi kepanasan kena aspal ... ih hik ...
hik... hik ...
“Ha ... ha ... ha ...! Sama ya Mbok dengan ngemis, nggak
kepikiran ngemis Mbok?” candaku sengaja sedikit menyakitimu. “Mas, meski rupaku
lebih njijiki dari pengemis, tapi kalau disuruh ngemis? Pilih mati kelaparan
Mas!” simpulmu sedikit mengisyaratkan kemarahanmu, meski saja tetap canggung.
Tapi aku rasakan di jiwaku, ada sebuah kepastian pilihan hidup yang kau titi
dengan penuh ketulusan di sana.
Ya ya ya ... marahlah Mbok, semburkan dengan segenap air
liurmu, biar semua tahu itu adalah pilihan hidupmu. Kumpulkan banyak-banyak di
kandung kemihmu, sirami batu nafsu kami dengan cahayamu. Di mataku yang tak
lagi awas ini, kau mulia sekali. Sendal jepitmu itu lebih mulia daripada batu permata,
daripada kami para pelaku hidup yang di dalam kepala kami hanya ada urusan
perut dan saluran kemih.
Mungkin sampai di sini agak terbuka tabir rahasia arti
namamu itu Mbok. Kalau toh akhirnya kau tahu apa makna namamu itu, pesanku
jangan pernah merasa malu Mbok. Mau apa namamu, entah itu kemih ... Mani ...
atau apalah, kilau berlian itu akan selalu terpancar dari balik rongga-rongga
hatimu.
Aku yakin kelak bila kapalen di kakimu itu telah mencapai
kontur ketebalan tertentu, kau tak lagi butuh sendal baru. Hingga uang sepuluh
ribu rupiah penebus sendal jepitmu itu bisa menjadi berkarak-karak semakin
banyak. Oh ya Mbok satu lagi pesanku, kalau jalan jangan nengah-nengah ya ...
***
Ketika hasrat bersenyawa dengan keterbatasan, setetes ketidakberdayaan
jatuh berderai membasahi permukaan bumi. Lemah isi rongga di kepala dan ruang di
hati berpadu, lemah pula hasil yang tertuju. Gelombang kepongahan menyapu,
meminggirkan kehendak kalbu, bahkan niat baik itu. Rentan jiwa yang aus, rentan
pula moral tergerus.
Satrio Wicaksono! Entah malaikat mana yang membisiki Yu
Kemih usai melebur segala bayu, hingga ujung kaki Sang Ksatria tersiram hangat
mentari. Pecah tangis membuncah dari kedua mulut tengadah. Si jabang bayi
menangis karena memang takdirnya harus menangis. Salam pertamanya kepada dunia
dan isinya. Si pelaku perang sabil menangis meratapi kelu nasib. “Kamu ksatria
le ... kelak selalu akan bertindak sebagai ksatria, ksatria yang bijaksana...” doa sang ibu kepada nutfahnya.
***
“Anak jadah ... anak jadah ... “ itu adalah doa-doa yang
selalu mengiring langkah kaki kecil ksatriamu. “Simbok, siapakah bapakku?”
ratap anakmu memohon belas kejelasan yang tersimpan nyaman di balik lemah dadamu.
“Simbok, ceritakan kepadaku di mana bapakku, ceritakan kepada mereka kehebatan
bapakku, agar mereka tahu bapakku bukan orang sembarangan ...“
“Le, kamu adalah ksatria, bahkan ketika kamu masih ada di
perut Simbok, kamu adalah ksatria dan akan terus seperti itu di hidupmu kelak.
Kau adalah ksatria ...”
“Simbok ....”
“Le ...”
Bening kilau air berkaca-kaca dari dua pasang mata, membasahi
tautan erat dua pasang tangan lemah.
“Le, omongan mereka tak ada artinya bagi seorang ksatria seperti dirimu ...”
“Simbok ... aku mencintai simbok, seperti simbok mencintai aku
...”
Rapat tangan terkemas, tak akan lepas meski menghalang napas.
***
“Simboookkkk .....!” Jangan tinggalkan Satrio ya Mbok ...
aku mohon ... “satu ratap tak genap bersambut, ratap berikut tak sabar beringsut.
“Le, Simbok janji setelah bekal masa depanmu sudah Simbok
dapat, simbok segera berada di sisimu lagi”
“Tapi aku takut Mbok, aku takut kehilangan Simbok ... terus
aku sama siapa Mbok ...?” tak kenal henti, jerit hati ingin segera terlunasi.
“Le, Mbokdhe Mani itu sama juga dengan Simbok Le ... Mbokdhe
Mani juga sayang Satrio, sama seperti Simbok ...”
“Tapi ... aku ingin Simbok ...”
“Le, ingat kata Simbok, kamu adalah ksatria ...”
“Simboookkkkk .....!!!” tangan lemah tercerabut dari hati
yang gerah. Lunglai jantung hati rela tertinggal, demi mengais mimpi di negeri yang
janggal ...
***
Mata cekung semakin linglung, tersaput kelam sederet mendung.
Kepasrahan menelikung asa yang terkandung, di balik jiwa lemah yang semakin
bingung.
“Mbok Kemih ... Satrio tidak perlu bapak Mbok, sosok bapak
itu ada di jiwa Mbok Kemih ...”
“Apa iya Mas ...ih hik ... hik ... hik ... tawamu kali ini
agak aneh terngiang di telinga hatiku. “Dua tahun dulu aku abaikan dia ...
seumur hidup penyesalan tak kuasa kuhapus ...”
Aku yakin itu bukan suaramu Mbok, itu adalah bisik malaikat
yang dulu juga membisikimu untuk memberi sebutan satrio kepada anakmu kala terlahir
di dunia.
“Enak ya Mbok waktu kerja di Malaysia?” kataku sekata-kataku,
karena memang aku tak tahu lagi harus berkata apa.
“Enak jualan karak ini Mas ...” jawabmu sejawab-jawabmu,
karena memang agaknya kau juga tak tahu
harus menjawab apa.
Aku menemukan satu lagi sebuah pintu misteri dari jawabanmu itu.
“Nggak ada harganya ya Mbok? Lebih mahal karak ...”
Lemah kau mengangguk. Sekali lagi, mungkin itu bukan
anggukanmu, tetapi malaikat yang tak pernah bosan menemanimu.
Jauh matamu menembus awan, sejauh hidupmu tuk menebus angan
...
***
Satu hari berlari, satu minggu berlalu, tak jua aku bertemu,
dengan sang pemilik asa sendu. Tak terngiang lagi bait tersenandung, kala aku
menjemput mimpi tersambung.
Ada sebersit rindu yang menyeruak di salah satu ruang batinku.
Kerinduan kepada sapa lugumu. “Mas ... ih hik .. hik ... hik ...” demikian
senantiasa saat kita bersua muka, meski barang sejenak. Tawamu yang selalu
mengiringi derai ocehanmu itu, seolah tak lelah memancing naluri ruh kebaikan di diriku agar bisa terwujud dalam segala tindakanku.
Satu lagi yang membuatku nyaman mengenalmu, kepasrahanmu!
Kau tidak seperti kebanyakan penjual, yang seolah begitu memaksa orang untuk
membeli jualannya. Begitu ngotot dengan segala upaya agar dagangannya tertukar
dengan lembar-lembar kertas yang terasa nikmat di genggaman. Sebuah dogma mekanisme pertahanan hidup, jika
keserakahan terlalu frontal sebagai cerminan deskripsi kehidupan.
“Bu, kok sudah lama Mbok Kemih nggak kelihatan ya?” tanyaku
kepada seorang ibu yang membuka toko di depan sekolah anakku. Seorang ibu yang
juga kerap membeli karak Mbok Kemih.
“Iya ya Mas, saya juga mbatin ke mana itu Si Mbok Karak?”
jawab si ibu.
“Rumahnya mana sih Bu?” tanyaku sekedar ingin tahu.
“Mojo Mas, itu lho sebelah timur jembatan Mojo ...”
Selepas menaruh mimpiku di peraduannya, secepat kilat aku
menuju rumah Mbok Kemih. Rasa penasaran yang menggelayuti benakku, mendorong
kakiku tuk menemukannya.
Tak sulit ternyata
mencari rumah Mbok Kemi, meski hanya berbekal petunjuk seadanya. Mbok Kemih
begitu terkenal dengan sebutan Mbok Kemih Karak.
Hati terasa tercekat kala kaki semakin mendekat, sebuah
bilik tersekat. “Permisi ...?’ hening bergeming.
“Permisi ...?”
“Cari siapa Mas?” kutoleh ke belakang, asal suara.
“Mbok Kemih ada Bu?”
Jawab yang kuharap, bening air mata kudapat. Lembut, pelan
... pelan sekali ... menetes ke bumi.
“Kemih sudah nggak ada Mas ...”
Tak kuasa aku melepas tatap mata terhadap si ibu. Tak kuasa
aku tuk sekedar menggeser satu syaraf di tubuhku. Segala perintah otakku
menembus kelam tembok hitam ... diam ... temaram .
“Dia cuma bilang capek Mas... terus pamit tidur ... oalaah
Kemih... Kemih ....”
“Siapa Mbokdhe?” lemah suara terucap mengiring lemah raga yang
kian mendekat. Tak kuasa menahan gundah, satu bait kuucap, terperangah, “Satrio
...?” Tatap pasrah sang bocah di atas sebuah kursi roda, guratkan setitik jengah.
Kugeser seratus delapan puluh derajat kepalaku, kualihkan tatapanku ke arah
‘Mbokdhe’ dengan sejuta samodra ketidakmengertian. Sang Mbokdhe mengangguk.
“Dua puluh lima tahun yang lalu Mas, ketika ditinggal Kemih
ke Malaysia ..., panas badannya tidak turun-turun hingga seperti inilah Satrio
...”
Susah ... susah sekali meski sekedar untuk menelan ludahku
sendiri.
Mbok Kemih ... kenapa Kau begitu pengecut? Tungkakmu begitu
kuat menapak aspal jalanan, tapi liat Satrio! Tungkak yang tak pernah terusik
kuatnya gravitasi bumi! Tidakkah kau lihat itu semua hah?!
Solo Mei 2012