Selasa, 20 November 2012

Bibit, Bebet, dan Bobot



Di kalangan masyarakat tradisional Jawa, salah satu persyaratan agar terpilih menjadi calon pasangan adalah bila bibit, bebet, dan bobot memadai. Persyaratan itu bukan bermaksud diskriminatif. Demi kelanggengan rumah tangga yang akan dibangun, saran itu masuk akal. Pasangan diharapkan serasi agar tidak gampang goyah setiap kali ada cobaan. Yang dimaksud bibit adalah asal-usul keturunan. Bebet adalah asah-asih-asuh yang diperoleh dari lingkungan terdekat maupun masyarakat. Bebet membantu membentuk sikap dan perilaku maupun budi pekerti. Sedangkan bobot menunjuk pada bekal yang dimiliki, apakah berbentuk kekayaan atau status sosial. Dalam masyarakat homogen yang serba tertib, persyaratan semacam itu wajar. Bukankah burung-burung bersayap sama sebaiknya terbang bersama? Pasangan serasi mencegah kegagalan. Tetapi untuk masyarakat penuh ketimpangan, lain ceritanya. Idealnya, persyaratan bibit-bebet-bobot diberlakukan juga ketika kita mencari pemimpin. Misalnya pemimpin KPK yang akhir-akhir ini dihebohkan. Kita banyak mendengar komentar. Antara lain, jangan terpesona oleh nama besar atau kepopuleran. Telusuri rekam jejak para calon. "Fit and proper test" oleh DPR seharusnya memadai, sekalipun adakalanya menjadi "not proper" karena kepentingan-kepentingan tertentu.

Penyerapan Pendidikan dan Pengalaman
Mengenai "bebet", ada aksioma bahwa pendidikan diawali sejak lahir dan berakhir saat ajal menjemput. Sepanjang hidup, manusia belajar memberi respons terhadap kehidupan. Itu salah satu aspek pembelajaran formal maupun informal. Lagipula sebenarnya pendidikan formal adalah kelanjutan dari asih-asah-asuh yang diperoleh manusia sejak awal dari orangtua, kerabat dan lingkungannya. Nilai-nilai, sikap dan pola perilaku diteruskan ke generasi berikutnya; begitu pula himpunan pengetahuan dan ketrampilan yang diajarkan lewat lembaga-lembaga pendidikan. Dengan demikian eksistensi masyarakat terjamin kelangsungannya, menembus waktu.
Dalam sejarah modern, segenap masyarakat di mana pun memiliki lembaga-lembaga pendidikan formal untuk membantu memberi bekal hidup kepada kalangan muda. Fungsi pendidikan formal semakin penting seiring dengan makin kompleksnya kehidupan masyarakat dan makin tingginya tuntutan standar kinerja. Dalam masa pembelajaran formal itu, anak-anak juga belajar bahwa masyarakat menilai mereka dari kemampuan dan kinerja mereka, suatu pelajaran yang tidak selalu sesuai dengan apa yang dialaminya kemudian setelah mereka selesai pendidikan. Kenyataan ini menimbulkan pelbagai benturan nilai yang terserap selama masa pendidikan. Misalnya, bagaimana memilih antara ekonomi yang pertama-tama harus mengutamakan keuntungan individu/korporasi, dengan ekonomi yang pertama-tama harus mengutamakan kesejahteraan publik?
Mengenai pendidikan formal macam apa yang tepat untuk masyarakat kita, Prof Dr Soedijarto MA, dalam bukunya "Pendidikan Nasional Kita" (2008) antara lain menyatakan, "Untuk mempertahankan bentuk negara kesatuan perlu dilaksanakan dan diselenggarakan satu sistem pendidikan nasional dan perlu terus dimajukannya kebudayaan nasional." Berbicara tentang salah satu karakteristik struktur bangunan negara Indonesia, dia berpendapat, "Negara kebangsaan modern yang dicita-citakan oleh Bung Karno adalah negara yang didukung oleh seluruh rakyat yang memiliki pengalaman kolektif sejarah yang sama.... Terancamnya integrasi nasional baik secara sosial, politik dan teritorial yang kita hadapi pada saat ini tidak lain karena banyak pemimpin melupakan hakikat negara Republik Indonesia sebagai negara kebangsaan yang demokratis. Bukan demokrasi liberal yang berdasarkan 'free-fight liberalism' yang semangatnya adalah mengalahkan lawan politik dan merebut kekuasaan." Yang diharapkan Prof Soedijarto: demokrasi dengan semangat menemukan konsensus nasional demi keutuhan bangsa dan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Keadaan Darurat Menuntut Keputusan Cepat
Dengan berbagai silang opini dan tarik-menarik kepentingan mengenai berbagai persoalan nasional, sulit bagi masyarakat maupun kalangan pimpinan bisa cepat bersepakat tentang masalah-masalah muskil, antara lain menemukan pemimpin yang tepat untuk KPK, misalnya. Seperti dalam perkawinan, bibit-bebet-bobot tidak menjamin kelanggengan. Posisi tersebut seperti telur di ujung tanduk yang mudah jatuh pecah karena ramainya tarik-menarik kepentingan. Selain itu, nilai-nilai masyarakat pun tidak lagi mudah dipetakan, karena apa yang diajarkan orangtua dan di bangku sekolah berbeda dengan yang terjadi di lapangan. Berbagai godaan dan cobaan ramai lalu-lalang.
Walter Lippmann (1889-1974), jurnalis-filosof terkemuka tamatan Harvard, sepakat dengan filosof Yunani Plato (427-347 SM). Mereka menganggap publik sebagai kumpulan orang bingung di tengah-tengah ramainya perang opini. Berkaitan dengan itu, dia mengatakan dalam karyanya "Public Opinion" (1922), ada kesulitan mendalam tentang penggunaan akal sehat untuk menghadapi kehidupan politik yang tidak masuk akal. Seperti Plato, dia juga berpendapat bahwa nakhoda tahu apa yang terbaik untuk kapalnya. Tetapi yang dalam benak nakhoda tidak mudah dikenali awak kapal. Sementara sang nakhoda terpesona oleh gemerlapan bintang di langit dan gerak angin, dia tidak menyadari bahwa awak kapal perlu tahu apa yang dia ketahui. Tidak ada waktu untuk saling berkonsultasi. Sedangkan krisis menuntut keputusan dalam hitungan detik. Maka akan sia-sia untuk mengatakan agar memberikan pembelajaran pada awak kapal. Sebab, teori bagus di darat, belum tentu tepat untuk mengatasi keadaan darurat, ketika kapal sedang oleng hebat diterpa badai. Singkatnya, konsep bibit-bebet-bobot yang diperkirakan menjadi persyaratan ideal untuk perkawinan, tidak selalu menjamin kesuksesannya. Sama halnya, konsep itu belum tentu tepat untuk persyaratan memilih pemimpin, karena kondisi kehidupan politik yang sering tidak masuk akal.

0 komentar:

Posting Komentar