Jangan sekali-kali berbicara kejantanan di depanku. Karena itu
berarti ribuan jarum berebut masuk ke telingaku. Satu suara mengiris kulitku. Suara-suara
berikutnya merajam setiap jengkal tubuhku. Sementara orang lain tertawa di hangatnya
selimut dongeng bapaknya. Aku sibuk menyembunyikan tangis di hatiku. Sementara
bapak mereka adalah pelaku dongeng yang gagah. Aku sibuk mereka-reka gambar
wajah bapakku. Aku bahkan sibuk berusaha untuk dapat merasakan denyut jantung
bapakku. Hingga aku ada pada titik paling sunyi. Menggigil dalam sepi. Lautan
di depanku. Aku terdiam. Orang-orang melambai ke arahku. Aku tak yakin lagi
bahwa itu adalah aku.
“Nama bapakmu siapa?” tanya Pak Mursidi, guru SD-ku. Aku terdiam.
Selalu begitu.
“Bapaknya PKI Pak ...” celutuk salah seorang temanku. “Hahaha ...”
disusul suara tawa teman-teman sekelasku yang lain. Semakin membuat aku
terdiam. Aku tertunduk. Kusembunyikan wajahku
di atas meja. Berbantal kedua tanganku yang terlipat di atas meja tempat
dudukku itu. Air mata meleleh di kedua pipiku membasahi tanganku. Tubuhku
bergetar, tersia-siakan. Seolah tanpa penghuni di dalamnya. Pak Mursidi
memegang kepalaku sebentar. Mengusapnya, lalu berlalu kembali ke depan kelas. Pak
Mursidi, yang aku harapkan mau membela diriku itu, tidak berkata apa-apa.
Seolah dia ikut membenarkan perlakuan teman-temanku terhadapku. Aku benar-benar
tidak mengerti apa itu PKI. Yang aku rasakan hanyalah bahwa PKI itu sebuah aib
seaib-aibnya. Lebih menjijikkan daripada kelakuan buruk apapun di muka jagad
ini.
“Benteng ...” aku tergagap. Kuangkat kepalaku. Mata nanarku terbentur
pada satu wajah. Teman sekelasku juga. Perempuan. Maryam namanya. “Ketiduran
ya?” sapanya lagi. Aku mencoba tersenyum ke arahnya. Memang begitu. Seringkali aku
ketiduran ketika menangis di kelas. Teman-temanku tak mengusikku lagi. Mungkin menjadi
lebih baik bagi mereka tidak melihat wajahku. Daripada harus menahan kebencian
mereka menyaksikan keturunan PKI. Aku mendengar suara jendela ditutup. Jendela-jendela
ruang kelasku yang mulai ditutup oleh Pak Ranto. Penjaga sekolah.
Tanpa banyak patahan kata yang keluar, kami berdua pulang bersama.
Baru saja kaki melangkah dari pintu kelas, tiba-tiba serombongan teman
sekelasku muncul dari samping pintu. “Wah ... dua orang aneh lewat ... Ha ha ha
...” tawa merekapun mengiringi kepulangan kami berdua. Aku dan Maryam terus
berjalan. Dengan kepala tertunduk.
Satu-satunya orang yang mau berteman denganku memang hanya Maryam.
Nasib dia tidak lebih baik daripada aku. Keluarganya dikucilkan orang
sekampung. Malah, pernah suatu saat rumah Maryam mau dibakar. Kata orang-orang
kampung itu, orangtua Maryam memelihara pesugihan. Waktu ada anak kecil di
dekat rumah Maryam meninggal, orang-orang kampung menuduh orangtua Maryamlah
penyebabnya. Kata mereka, anak kecil itu mati sebagai tumbal pesugihan orangtua
Maryam. Maryam hanya terdiam di sudut halaman rumahnya. Air matanya mungkin
sudah bosan mengalir di kedua pipinya yang tembem. Aku berdiri di sampingnya.
Tidak ada kata-kata. Namun bahasa tubuh kami sudah saling memahami. Sorot mata
kami sudah saling menguatkan. Untunglah Pak Lurah saat itu berhasil meredakan
kemarahan warga. Akhirnya kedua orangtua Maryam disumpah pocong di mesjid kampung
kami ...
“Le ...” suara ibuku membuyarkan lamunanku. Pandangan kami beradu.
Di mataku tergambar sosok perempuan yang sangat aku cintai. Di mata ibuku,
tergambar rasa iba terhadap darah dagingnya. Yang pasti dari mata kami terpancar
rasa saling memiliki. Satu-satunya yang kami miliki. Dulu masih ada Maryam di
antara kami. Aku sama sekali tidak menyangka kalau bapaknya Maryam tega
merenggut satu-satunya hati yang kumiliki itu. Satu-satunya yang dimiliki
Maryam juga. Aku sangat tidak menyangka, kebersamaan nasib sedikitpun tidak
mampu menggeser jalan hidupku.
“Maafkan Ibu ya Le ...” Aku tersenyum ke arahnya. “Jaman sudah
berubah Le, mungkin saatnya kamu tahu siapa bapakmu ... setelah sekian lama”,
kata Ibu.
“Sudahlah Ibu, apalah gunanya ... toh semua tak dapat berubah,
semudah perubahan jaman ini ...” kataku pasrah.
“Tigapuluh lima tahun yang lalu ... ibu dan bapakmu diterima
bekerja di Pos Telegraf dan Telepon di sebuah kota kecamatan di Surabaya
...” kata ibuku tanpa menghiraukan keberatanku.
“Ketika diterima di jawatan itu tahun nempuluh, aku dan
bapakmu disodori formulir keanggotaan Serikat Buruh Pos Telegraf dan Telepon
oleh kepala jawatan kami. Hampir seluruh pegawai menjadi anggota serikat buruh
itu ...”
“Saat itu, aku dan bapakmu setuju saja. Perasaan Ibu
waktu itu, serikat buruh itu semacam kerukunan untuk meningkatkan
kesejahteraan pegawai. Membantu menangani masalah yang dihadapi pegawai. Ada juga
iuran anggota. Waktu itu besarnya seringgit atau dua setengah rupiah tiap
bulan, dipotong dari gaji Ibu” lanjut ibu mengenang.
Kulihat tipis airmata ibu mulai menutupi selaput matanya.
“Serikat buruh itu memang berafiliasi ke Sentral Organisasi
Buruh Seluruh Indonesia. Meski tak ada hubungan langsung secara struktural organisasi, pada masa Orba
SOBSI dikait-kaitkan dengan Partai Komunis Indonesia Le ...
Aku peluk Ibu erat ketika kulihat kaca-kaca di matanya mulai
jatuh ke lantai rumah. “Sudahlah Ibu ...”
“Ketika usiamu setahun. Setelah peristiwa nempuluh lima, semua
pegawai di-screening”. Waktu itu saya dan Pak
Marsam bapakmu terus terang apa yang sebenarnya kami alami. Waktu mereka tanya
‘saudara anggota SB?’ saya jawab: ya. ‘saudara pernah ikut rapat SB? Saya jawab
‘Tidak pernah.’ Ibu tidak tahu apa yang dikatakan bapakmu Le ... setelah itu mereka
membawa bapakmu. Sampai sekarang ...”, memelas sekali suara ibu.
Beberapa saat hening. Ibu melepaskan pelukanku. Di saat itu
juga tiba-tiba kedua mata ibuku memancarkan sebuah keteguhan. Sebuah kewibawaan
yang mengiringi kata-kata yang keluar dari mulutnya kemudian.
“Jaman sudah berubah Le ... ada lorong hidup yang bisa kau
lalui. Jalanmu masih panjang. Pergilah, cari Maryam. Biar Ibu hadapi bapaknya”,
dalam sekali suara ibuku saat itu. Tanpa senyum. Tanpa ada pancaran kesedihan!
Dan saat itu tiba-tiba aku temukan apa yang selama ini aku cari!
Sangat aku rindukan. Sebuah sikap kejantanan. Aku merasakan apa yang hilang
dari diriku memancar keluar dari sorot mata ibuku. Meski aku tak tak yakin itu
bisa mengisi jiwaku yang terlanjur kosong. Mengembalikan milikku yang telah mereka
renggut. Setidaknya saat itu ada sebuah penutan untuk bisa bersikap sebagai
lelaki. Yang selama hampir empatpuluh tahun perjalanan hidupku, tidak pernah bisa
aku temukan.
Hiruk pikuk di luar, yang meneriakkan kata-kata demokrasi itu
sama sekali tidak aku hiraukan. Pandanganku lurus ke depan. Menatap ujung
lorong yang akan aku lalui. Berharap bayangan Maryam kutemui di sana.
Solo, Jan ‘12