Saya adalah pelaku pena berasal dari sebuah kota budaya kecil Surakarta Jawa Tengah Indonesia. Tertarik pada sebuah sisi kehidupan dari peradaban ini.
Di samping itu, karena latar belakang pendidikan saya di Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Inggris Universitas Sebelas Maret Surakarta, saya juga terlibat dalam kegiatan menerjemahkan Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia dan sebaliknya.
Blog ini adalah salah satu wahana di mana saya menumpahkan segala gagasan dan ketertarikan saya kepada kehidupan ini.
Jika Anda tertarik untuk berinteraksi lebih jauh dengan saya, silakan terlibat dalam kehidupan saya. ( jasa terjemahan online ) di: 0271-5884647 a.n Agus Sulistyo


Jumat, 11 Januari 2013

Ujung Lorong



 
Jangan sekali-kali berbicara kejantanan di depanku. Karena itu berarti ribuan jarum berebut masuk ke telingaku. Satu suara mengiris kulitku. Suara-suara berikutnya merajam setiap jengkal tubuhku. Sementara orang lain tertawa di hangatnya selimut dongeng bapaknya. Aku sibuk menyembunyikan tangis di hatiku. Sementara bapak mereka adalah pelaku dongeng yang gagah. Aku sibuk mereka-reka gambar wajah bapakku. Aku bahkan sibuk berusaha untuk dapat merasakan denyut jantung bapakku. Hingga aku ada pada titik paling sunyi. Menggigil dalam sepi. Lautan di depanku. Aku terdiam. Orang-orang melambai ke arahku. Aku tak yakin lagi bahwa itu adalah aku.

“Nama bapakmu siapa?” tanya Pak Mursidi, guru SD-ku. Aku terdiam. Selalu begitu.

“Bapaknya PKI Pak ...” celutuk salah seorang temanku. “Hahaha ...” disusul suara tawa teman-teman sekelasku yang lain. Semakin membuat aku terdiam.  Aku tertunduk. Kusembunyikan wajahku di atas meja. Berbantal kedua tanganku yang terlipat di atas meja tempat dudukku itu. Air mata meleleh di kedua pipiku membasahi tanganku. Tubuhku bergetar, tersia-siakan. Seolah tanpa penghuni di dalamnya. Pak Mursidi memegang kepalaku sebentar. Mengusapnya, lalu berlalu kembali ke depan kelas. Pak Mursidi, yang aku harapkan mau membela diriku itu, tidak berkata apa-apa. Seolah dia ikut membenarkan perlakuan teman-temanku terhadapku. Aku benar-benar tidak mengerti apa itu PKI. Yang aku rasakan hanyalah bahwa PKI itu sebuah aib seaib-aibnya. Lebih menjijikkan daripada kelakuan buruk apapun di muka jagad ini. 

“Benteng ...” aku tergagap. Kuangkat kepalaku. Mata nanarku terbentur pada satu wajah. Teman sekelasku juga. Perempuan. Maryam namanya. “Ketiduran ya?” sapanya lagi. Aku mencoba tersenyum ke arahnya. Memang begitu. Seringkali aku ketiduran ketika menangis di kelas. Teman-temanku tak mengusikku lagi. Mungkin menjadi lebih baik bagi mereka tidak melihat wajahku. Daripada harus menahan kebencian mereka menyaksikan keturunan PKI. Aku mendengar suara jendela ditutup. Jendela-jendela ruang kelasku yang mulai ditutup oleh Pak Ranto. Penjaga sekolah.

Tanpa banyak patahan kata yang keluar, kami berdua pulang bersama. Baru saja kaki melangkah dari pintu kelas, tiba-tiba serombongan teman sekelasku muncul dari samping pintu. “Wah ... dua orang aneh lewat ... Ha ha ha ...” tawa merekapun mengiringi kepulangan kami berdua. Aku dan Maryam terus berjalan. Dengan kepala tertunduk.

Satu-satunya orang yang mau berteman denganku memang hanya Maryam. Nasib dia tidak lebih baik daripada aku. Keluarganya dikucilkan orang sekampung. Malah, pernah suatu saat rumah Maryam mau dibakar. Kata orang-orang kampung itu, orangtua Maryam memelihara pesugihan. Waktu ada anak kecil di dekat rumah Maryam meninggal, orang-orang kampung menuduh orangtua Maryamlah penyebabnya. Kata mereka, anak kecil itu mati sebagai tumbal pesugihan orangtua Maryam. Maryam hanya terdiam di sudut halaman rumahnya. Air matanya mungkin sudah bosan mengalir di kedua pipinya yang tembem. Aku berdiri di sampingnya. Tidak ada kata-kata. Namun bahasa tubuh kami sudah saling memahami. Sorot mata kami sudah saling menguatkan. Untunglah Pak Lurah saat itu berhasil meredakan kemarahan warga. Akhirnya kedua orangtua Maryam disumpah pocong di mesjid kampung kami ...

“Le ...” suara ibuku membuyarkan lamunanku. Pandangan kami beradu. Di mataku tergambar sosok perempuan yang sangat aku cintai. Di mata ibuku, tergambar rasa iba terhadap darah dagingnya. Yang pasti dari mata kami terpancar rasa saling memiliki. Satu-satunya yang kami miliki. Dulu masih ada Maryam di antara kami. Aku sama sekali tidak menyangka kalau bapaknya Maryam tega merenggut satu-satunya hati yang kumiliki itu. Satu-satunya yang dimiliki Maryam juga. Aku sangat tidak menyangka, kebersamaan nasib sedikitpun tidak mampu menggeser jalan hidupku.

“Maafkan Ibu ya Le ...” Aku tersenyum ke arahnya. “Jaman sudah berubah Le, mungkin saatnya kamu tahu siapa bapakmu ... setelah sekian lama”, kata Ibu.

“Sudahlah Ibu, apalah gunanya ... toh semua tak dapat berubah, semudah perubahan jaman ini ...” kataku pasrah.

“Tigapuluh lima tahun yang lalu ... ibu dan bapakmu diterima bekerja di Pos Telegraf dan Telepon di sebuah kota kecamatan di Surabaya ...” kata ibuku tanpa menghiraukan keberatanku.

“Ketika diterima di jawatan itu tahun nempuluh, aku dan bapakmu disodori formulir keanggotaan Serikat Buruh Pos Telegraf dan Telepon oleh kepala jawatan kami. Hampir seluruh pegawai menjadi anggota serikat buruh itu ...”

“Saat itu, aku dan bapakmu setuju saja. Perasaan Ibu waktu itu, serikat buruh itu semacam kerukunan  untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai. Membantu menangani masalah yang dihadapi pegawai. Ada juga iuran anggota. Waktu itu besarnya seringgit atau dua setengah rupiah tiap bulan, dipotong dari gaji Ibu” lanjut ibu mengenang.

Kulihat tipis airmata ibu mulai menutupi selaput matanya.

“Serikat buruh itu memang berafiliasi ke Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia. Meski tak ada hubungan langsung  secara struktural organisasi, pada masa Orba SOBSI dikait-kaitkan dengan Partai Komunis Indonesia Le ...

Aku peluk Ibu erat ketika kulihat kaca-kaca di matanya mulai jatuh ke lantai rumah. “Sudahlah Ibu ...” 

“Ketika usiamu setahun. Setelah peristiwa nempuluh lima, semua pegawai di-screening”. Waktu itu saya dan Pak Marsam bapakmu terus terang apa yang sebenarnya kami alami. Waktu mereka tanya ‘saudara anggota SB?’ saya jawab: ya. ‘saudara pernah ikut rapat SB? Saya jawab ‘Tidak pernah.’ Ibu tidak tahu apa yang dikatakan bapakmu Le ... setelah itu mereka membawa bapakmu. Sampai sekarang ...”, memelas sekali suara ibu.

Beberapa saat hening. Ibu melepaskan pelukanku. Di saat itu juga tiba-tiba kedua mata ibuku memancarkan sebuah keteguhan. Sebuah kewibawaan yang mengiringi kata-kata yang keluar dari mulutnya kemudian.
“Jaman sudah berubah Le ... ada lorong hidup yang bisa kau lalui. Jalanmu masih panjang. Pergilah, cari Maryam. Biar Ibu hadapi bapaknya”, dalam sekali suara ibuku saat itu. Tanpa senyum. Tanpa ada pancaran kesedihan!

Dan saat itu tiba-tiba aku temukan apa yang selama ini aku cari! Sangat aku rindukan. Sebuah sikap kejantanan. Aku merasakan apa yang hilang dari diriku memancar keluar dari sorot mata ibuku. Meski aku tak tak yakin itu bisa mengisi jiwaku yang terlanjur kosong. Mengembalikan milikku yang telah mereka renggut. Setidaknya saat itu ada sebuah penutan untuk bisa bersikap sebagai lelaki. Yang selama hampir empatpuluh tahun perjalanan hidupku, tidak pernah bisa aku temukan.

Hiruk pikuk di luar, yang meneriakkan kata-kata demokrasi itu sama sekali tidak aku hiraukan. Pandanganku lurus ke depan. Menatap ujung lorong yang akan aku lalui. Berharap bayangan Maryam kutemui di sana.


Solo, Jan ‘12

Rabu, 09 Januari 2013

Tanpa Judul



Seorang ‘filsuf’ pendidikan bersabda:

“Pilihan sekolah itu seperti memilih telepon seluler. Pilih BlackBerry atau Nokia 3110? Tentu ada kualitas ada harga dong ..." “RSBI dirancang untuk mengejar ketertinggalan pendidikan global ... Semua materi pelajaran disampaikan dalam Bahasa Inggris, kecuali mata pelajaran Bahasa Indonesia, agar siswa kelak dapat bersaing di level internasional ...” Wuih!

Kami  hanya tertawa. Kali ini benar-benar tertawa.

 Dan kami tidak bilang “Modar ... !” ketika kami mendengar sekolah mahal ‘milik kami’ itu difatwa ‘haram’ oleh MK. Karena mereka terlalu pintar berkelit di balik sebuah istilah. Banyak jalan menuju ke muara yang sama. Kelas terunggul, kelas terpadu, kelas terseksi, kelas terbahenol, dan kelas-kelas yang lain yang semakin mengukuhkan kelas kami sendiri ..., kelas terkere... hehehe (tapi jiwa kami sama sekali tidak kere!). Jangankan untuk memilih ‘Nokia 3110’, uang saku saja kadang hanya restu harapan kebaikan dari orangtua.

“Kekuatan yang kami miliki adalah doa dan sikap penyerahan diri sepenuhnya ... “
“Namun, belajar kami tetap. Tetap semangat!”

Jayalah Indonesia di masa yang akan datang.

Senin, 31 Desember 2012

Perempuan Sekat Hidup




Pagi pelan beringsut. Sinarnya merangkak di sekat sebuah bilik. Pelan ... tak sepelan hasrat perempuan empat puluhan tahun itu untuk meninggalkan tangis hatinya. Dengan segenggam harap di telapak tangan. Sekenanya dia rapikan tubuhnya. Sesaat dia hembuskan nafasnya untuk memuntahkan rasa salah di sudut hatinya. Sebelum sekat-sekat itu menyaksikan bayang tubuh lemahnya meninggalkan ruang itu. Meninggalkan seorang laki-laki yang menjadi bagian cerita salah satu malamnya. Laki-laki yang masih terlena. Bergulat mengembalikan tenaga yang dia pakai untuk mengabulkan hasratnya ...

“Terima kasih ya Mas ...” katamu pelan kepadaku. Aku tersenyum. Mataku enggan beralih dari dua bocah itu. Tertawa lepas. Tawa yang menari di sela-sela percik air. Butir-butir air yang melayang ke udara terantuk telapak-telapak mungil itu. “Ayo Le ... sudah mandinya, masuk angin nanti. Pakai baju terus nanti jalan-jalan liat kembang api ya Nak ...” Mata kedua bocah itu begitu berbinar. Menyorotkan rasa hati mereka. “Horeeee nanti liat kembang api ... kembang api!” Aku ambil nafasku, aku hentakkan kuat-kuat. Terbayar sudah ketidakmampuanku membuang tangis kedua bocah itu semalaman. Kedua bocah yang tidak sempat tuntaskan mimpinya. Menyayatkan rintihan di atas bantal. Tangis kehilangan kehangatan di pekat dingin malam. Di antara deras hujan. Menanti sang ibu kembali. Kembali dari mempertaruhkan jiwanya untuk kedua buah nafasnya.

“Maafkan aku ya Mas, selalu rmerepotkanmu ...” Dan selalu saja aku hanya tersenyum. Senyum getir menertawakan kebodohanku. Ketidakmengertianku terhadap sketsa hidup yang ada di hadapanku. Aku hanya bisa memelihara rasa ini di salah satu ruang batinku. Selalu terhenti pada sebuah keinginan. Dan aku selalu datang terlambat. Datang di saat tangis-tangis itu telah pecah. “Pak, nanti ikut liat kembang api ya ...” suara anak ragilku membuyarkan anyaman di kepalaku.

“Mas, aku titip anak-anakku sebentar ya ...” Aku hanya ternganga. Seperti biasa, sorot mataku tak pernah mampu hentikan langkahmu. “Hanya sebentar kok Mas, aku sudah janji sama anak-anak ...” gema suaramu hilang ditelan deru motor yang membawa tubuhmu. Terbawa serta sepotong harapan kedua anakmu.

Malam begitu cepat merayap. Membelit sebuah penantian. Secepat kilat aku datangi kedua bocah itu. Kali inipun aku terlambat! Kedua bocah itu telah melukiskan kesendiriannya di atas bantal itu. Aku dekap erat. Aku tampar kedua pipiku untuk mengusir kelemahanku. “Kita lihat kembang api ... Kita bersama melihat kembang api itu ...”

Aku sendiri ... ketiga anakku sendiri ... kedua bocah amanah itu sendiri .... Artinya kini tidak ada yang sendiri. Aku tersenyum, semakin lebar ... hingga membahanakan tawaku. Bersanding dengan tawa kelima anak manusia itu! “Tetetet ... teeeeet ...  teeeeet .... selamat tahun baru kelima anakku!” Tawa kami pecah. Berhamburan ke udara. Berkumpul dengan tawa-tawa lain. Tawa pijakan untuk tetap menjaga keinginan baik. Keinginan baik untuk menyongsong pintu hari baru. Langit yang biasanya muram. Ikut terkekeh-kekeh. Geli digelitik si kembang api.

Kamis, 27 Desember 2012

Tebing Somplak


Orang tua kurus itu berdiri lama-lama. Sesungging senyum tertahan, sambangi  bibir berkerutnya. Sekejap, lalu sepasang bibir itu kembali mengerucut. Bibir yang tak lagi mendapati penopangnya. Gigi-gigi hitam. Alis putih di atas matanya sesekali terangkat . Sesekali bersentuhan, disatukan oleh kerut dahinya. Dahi yang bagian atasnya sudah tidak lagi diselimuti rambut itu. Tebing usang yang menggelambir di depan matanya seketika tertawa. Orang tua itu mengerang. “Aku tak bosan ada di antara onak di kakiku ...”  Dan derunya kemudian, “Sudah lama kucecap sakit ini, rasanya tak kuat saat kau beri ruang lagi untuknya. Dan aku yakin itu kan menjadi bantal matiku ... Huh!!”

Triiinggg ... denting makian semakin membelit isi dadanya. Dada itupun meranggas hebat, menguapkan madah hati terhadap hidup yang dijalaninya. Bibirnya melarik epilog kecemburuan. “Seumur-umurku telah aku letakkan pengais rejeki itu di hadapanmu ...” “Sekiranya aku akan selalu berbaju kepelitanmu, enggan rasanya aku meneruskan kisah ini ...tak jua mataku menatap tunas itu berkecambah” “Malaikat maut... atau siapapun yang saat ini ada di dekat jiwaku ... aku letakkan hidupku, kabarkan kepada pemilik rohku ...”

Tekad itu sudah bulat. Nalar itu telah mampat.  Kaki lemahnya menapaki tebing usang di depannya. “Tebing laknat ... inikah yang kau harap?!” Nafas satu-satu yang masih kuat dihembuskan, menyertai kaki sang kakek kala menginjak tanah di batas antara tebing itu dengan cakrawala. Di atas tebing, alis matanya bergerak-gerak tertimpa angin. Dadanya kembang kempis menyatukan detak jantung yang semakin meronta. Tebing itu perlahan menghitam. Senyumnya semakin dalam bersemayam di balik bayangannya. “Lelaki pandir ...” batinnya seraya mengatupkan penglihatannya.

Secepat-cepatnya, kakek itu membawa lari raga kurusnya melewati ambang bayu yang masih bisa diwujudkan. Sepersekian saat sebelum raga itu melewati bibir tebing, pijakan kakinya limbung. Menjadikan orang tua itu terguling berkalang tanah. Sebelum kaki tebing usang itu menerima jasadnya beberapa detik kemudian. Tak ditemui kaki berkelejotan, tak ada erangan tertahan. Bahkan tak ada air mata yang mengiringi. Hanya percik air yang jatuh beberapa meter dari atas. Suara percikan itu menggema membentur dinding tebing yang melengkung membentuk setengah lingkaran. “Ikuti saja arah angin, sampai penantianmu usai di ujung jalan itu ...” bisik tebing itu saat tubuh si kakek melayang di depannya.

***

Kakek itu berdiri. Tiiiiingg ... “Eh, aku terbang ...” Dia melihat ke bawah. Jasadnya membujur kaku. Darah mengalir di beberapa bagian tubuh diamnya. Gelap gulita di sekelilingnya. Namun hanya sesaat. Sesaat kemudian, gelap itu memudar. Perlahan menjadi semakin terang. Hingga akhirnya semua hanyalah terang yang ada. Orang tua itu memejamkan matanya, membiasakan pandangannya dengan cahaya yang diterima. Ketika dia membuka mata, semua sudah tertutup terang berkilauan. Tak tampak jasad berdarahnya. Tak tampak lagi tebing yang selalu menertawakan keputusasaannya. Dan tak tampak juga semua pohon di dasar jurang itu. Semua hilang. Tiba-tiba, rambutnya bergerak tertiup angin. Tangan orang tua itu meraba kepalanya. “Eh, ada rambut di kepalaku ...” gumamnya. Dia menoleh ke arah desiran angin itu. Di hadapannya terbentang jalan yang lebar. Semua tertutup cahaya putih. Sebentuk pepohonan yang semuanya berwarna putih ada di kedua sisi jalan itu. “Jalan putih ...” desisnya. “Aku harus ikuti jalan ini”, katanya kemudian sambil menyeringai menahan hawa panas yang ditimbulkan oleh uap di sepanjang jalan itu. Semakin dia mengikuti jalan itu, semakin kuat hawa panas yang ditimbulkan. 

Susah payah dia menahan hawa panas itu. Akhirnya pada satu kelokan, dia menjumpai seseorang. Orang dengan perawakan tubuh yang sangat tinggi. Tangan kiri orang itu mendekap sebuah buku, sedangkan tangan kanannya  membawa sebatang tongkat pendek. Tongkat yang dia pakai untuk menunjuk-nunjuk kala dia berbicara. Di tubuh orang itu menjuntai satu lilitan kain berwarna putih. Satu-satunya yang tidak berwarna putih adalah matanya. Mata itu tajam menyorot seperti api, berwarna merah.“Siapakah dirimu?” tanya orang itu. “Somplak ...” jawab sang kakek. “Bukan jawaban bodoh itu yang aku mau!” hardik orang itu. Kakek Somplak terdiam, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh orang tinggi itu. “Kamu tidak ada di catatanku hari ini” akhirnya orang itu membuka suara lagi. “Kau tidak boleh masuk, namamu belum ada di kitab ini ... berdiamlah di situ”, kata orang itu sambil menunjuk-nunjukkan tongkatnya ke arah buku di tangan kirinya.
Kakek Somplak menunduk terdiam. Batinnya membenarkan ucapan orang itu. “Tapi ...“ ucapannya terhenti karena dia tidak mendapati lagi orang putih itu di hadapannya. Pasrah, kakek itu merebahkan dirinya di jalanan putih itu.

“Orang putih ... aku haus!” teriak orang tua itu setelah tak mampu lagi menahan kering di kerongkongannya.

“Pikirkanlah bahwasannya dirimu sedang minum ...” hanya suara yang dia dengar. Tak didapati siapapun ketika dia tolehkan kepalanya ke arah suara itu.

“Kasihani aku Orang Putih ... aku juga sangat lapar ...!”

Suara itu terdengar lagi, “Pikirkanlah bahwasannya dirimu sedang makan”

“Tolong aku Orang Putih ... di sini panas sekali ..., Heh, tidak usah dijawab! Aku bisa membayangkan sedang ada di taman yang sejuk! Setan alas!!” mulai hilang kesabaran Kakek Somplak.

“Ho hoh hoh hoh hoh hoooh...” nyaring bergema terdengar tawa orang putih itu.

Dengan amarah di dada, kakek itu berlari ke depan, ke arah samar terlihat sebuah gerbang. Baru beberapa jengkal, tubuhnya terantuk semacam sekat tak kasat mata. Dia hantam sekat itu sekuat tenaga. Demikian berkali-kali dia lakukan. Merasa sia-sia, sang kakek berlari menjauhi sekat itu. Bermaksud kembali ke waktu pertama kali dia melihat jalan putih itu. “Di sana tidak begitu panas ...” batinnya. Baru beberapa langkah, kembali tubuhnya terantuk sekat tak terlihat.

“Orang Putihhhhhhh .... !!”  teriaknya pasrah.

***

“Somplak, ikut aku!” dengan setengah tertatih kakek Somplak mengikuti orang putih itu. Penderitaan luar biasa telah meluputkan perhatiannya terhadap sekat yang mengurungnya. Dia tidak menyadari kalau sekat itu sudah tak ada lagi. Tubuhnya gontai berjalan mengikuti di belakang orang putih itu. Mata Kakek itu membelalak tatkala orang putih itu menghentikan langkahnya. “Tebing usang ...” desisnya. Baru saja dia mau membuka mulutnya lebih jauh, orang putih itu sudah menyilangkan jari telunjuk di mulutnya. Di depan mereka, berdiri  seorang kakek dengan posisi menghadap bibir tebing.

“Tebing usang ... kau menjadi saksi ketika Kakek Somplak jatuh dari punggungmu ... kau menjadi saksi perjuangan tulus kakek Somplak ... Kakek yang telah menyengatkan getaran nurani orang yang menyaksikan kisahnya. Matiku pantas disaksikan keluhurannya!” kata orang di bibir jurang itu.

“Kau dengar itu Orang Putih?! Aku tidak bunuh diri!” teriak Kakek Somplak penuh harap. Sontak  saat itu juga sinar matanya menyampaikan sebuah harapan ke arah orang putih.

“Buka topengmu itu!!” hardik orang putih. “Kalau kau tidak pernah bisa mengakui kesalahanmu, akan semakin lama dirimu ada di jalan putih itu”. “Dan jangan sekali-kali kau anggap aku bodoh!!”

“Siapa orang itu?” tanya Kakek Somplak.

“Cucumu ...”

“Cucuku? Berapa lama aku di jalan putih?”

“Lima puluh tahun ...”

“Lima puluh tahun?! Kau panggang aku lima puluh tahun? Tidakkah mulut orang-orang itu menjadi pertimbanganmu?”

“Semakin mereka memujamu, semakin lama kau akan berada di jalan putih itu...”

Seketika terkunci rapat mulut si kakek.

***

“Lihat itu Somplak ...”, kata orang putih kepada kakek Somplak.

“Apalah gunanya ... toh tidak juga kau tawarkan kepadaku sebuah pilihan ....”,  tanpa hasrat kata-kata itu keluar dari mulut si kakek.

“Karena kebodohanmu ... setan telah membuka rumahnya di tebing itu ...”

Setengah hati, kakek Somplak menolehkan pandangannya ke Tebing Usang. Matanya sedikit menyiratkan keingintahuan.

“Kenapa cucuku tidak jadi mati?!”

“Setan tebing itu telah menawarkan hasrat kepada cucumu ..., dan kini orang-orang mengikuti jejaknya...”, dalam suara orang putih itu. Begitu dalam hingga hampir tak terdengar oleh kakek Somplak. “Ini semua salahmu lima puluh tahun yang lalu ...” lanjutnya. Kakek Somplak tidak begitu mengerti maksud si orang putih. Matanya menembus jarak, memandangi sekumpulan orang di atas bukit itu.

Sungguh sebuah ketidakmengertian yang didapati sang kakek dengan apa yang ada di depan matanya. Benaknya terisi berbagai kecamuk menyaksikan kejadian di atas bukit itu. Orang-orang di tebing itu datang berpasang-pasangan. Mulut mereka komat-kamit melontarkan permohonan.

“Kakek Somplak, kami datang meminta rejeki kepadamu. Kami terima apa perintahmu untuk kekayaan yang hendak kau berikan kepada kami ...”

Kakek Somplak mengerenyitkan dahinya. “Sejak kapan aku kuasa memberi limpahan rejeki kepada makhluk-makhluk itu?” Sejenak benaknya menelusuri jalan hidupnya. Tak jua dia temui saat dia mampu mengabulkan permintaan orang.

Tiba-tiba dia melihat sebuah bayangan hitam. Bayangan yang membisikkan sesuatu di telinga orang-orang itu. Menyeringai penuh kemenangan kala usai membisiki telinga orang-orang itu. Bau dupa menyeruak di antara pepohonan. Dupa yang semakin menggunung dibakar oleh orang-orang itu. Dupa yang sudah menyerupai gunung kecil itu, di bawahnya tertutup taburan kembang.

Beberapa saat kemudian, orang-orang itu saling bertukar pasangan. Kini mereka bergandengan tangan dengan masing-masing pasangan barunya. Bergeser beberapa jarak. Tiba-tiba kakek Somplak menutup matanya. Dadanya tidak kuat menerima beban rasa ketika matanya menyaksikan sebuah peristiwa. Sekumpulan anak manusia itu saling membuka tempelan benang yang melekat di tubuhnya. Setelah hanya berbalut udara dingin tebing itu, mereka saling tindih. Bayangan hitam semakin lebar menyeringai. Di sisi lain, air mata mengalir di kedua mata Tebing Usang.

Akhirnya kakek Somplak menyadari apa yang ada di hadapannya. Wajah-wajah manusia yang berusaha melepaskan berbagai cerita. Wajah-wajah itu berserakan di antara kelimpungan hasrat. Melepaskan bau kehidupan yang semakin amis. Sempoyongan, terpelanting hingga akhirnya tergolek di sebuah papan kenistaan.

Tak sadar, kakek Somplak menyeka matanya. Mengusap butir-butir air di kedua sudut matanya. Orang Putih tersenyum getir, lega melihat air mata  kakek Somplak.

“Kiranya ini adalah saat penantianku di ujung pengujianmu ...” gumam orang putih.


Solo, Des’12