Selasa, 20 November 2012

F i t r i




“Teh Mas ... ? Aku buatin teh ya?” senyum dan sapa ramah keluar dari mulut Fitri. Fitri, janda dua anak yang tinggal di kos-kosan depan rumahku. Bukan kos-kosan sebenarnya. Sebuah rumah kosong yang oleh pemiliknya disekat-sekat, dibuat kamar terus disewakan. Janda dua anak yang harus menggantungkan hajat hidupnya kepada para bapak yang membutuhkannya. Membutuhkan kehangatan tubuhnya yang lumayan sintal. Meski untuk ukuran kualitas wajah, cuma layak ada di posisi lima dari rentang skala nilai antara empat sampai sembilan. Yah, kalau dipaksakan sedikit bisalah bertambah setengah poin.

Aku menggeleng. “Habis minum kok Fit” jawabku.

“Mana?” katanya ketika tak mendapati apapun di meja teras. Meja di depan aku duduk. Duduk menikmati pagi hari yang cerah kala aku telah selesai melakukan tugasku. Mengantar anakku sekolah.

“Kok selalu gitu sih Mas ... takut aku pelet ya?”

“Halah Fit .. tak kau peletpun aku sudah terkagum-kagum melihatmu ...” kataku disusul kekeh tawa Fitri. 

“Awas lho Mas, nanti jadi kenyataan ... “ timpalnya sembari meninggali aku dengan derai tawanya yang tak putus-putus itu.

Pantatnya yang bulat selalu saja bergerak-gerak kala dia berjalan. Bergerak berlawanan dengan langkah kakinya. Kala kaki kirinya melangkah, belahan pantat kanannya yang bergoyang dan sebaliknya. Begitu seterusnya sampai hilang ditelan tembok pagar rumah kosnya. Lucu, sungguh hanya itulah kesan yang muncul setiap kali melihat Fitri dari belakang. Melihat dari belakang ketika dia sedang berjalan.

Pekerjaan utama Fitri sebenarnya adalah sebagai buruh di sebuah pabrik tekstil. Namun, uang enam ratus ribu rupiah gajinya itu, tidak sanggup menopang hidupnya selama tiga puluh hari. Menanggung satu anak kelas 4 SD yang ikut dengannya di kos-kosan dan satu anak yang ditinggal di kampung, diasuh oleh neneknya. Suaminya, empat tahun lalu telah meninggalkannya. Minggat entah ke mana. Kata Fitri, laki-laki yang dulu menjadi suaminya itu kini telah mati.

“Bener Fit?” “Matinya kenapa?”

“Mati perasaannya Mas ... mati kasih sayangnya terhadap anak-anak, darah dagingnya sendiri ...”
Sayang, kerja paruh waktu yang dia tekuni bukan di jalan yang semestinya. Tak lelah dia berburu bapak-bapak yang lebih memilih memanjakan alat kelaminnya daripada membaca ayat-ayat yang ada di dalam kitab suci. Dan, kebanyakan dari mereka sudah bukan bapak-bapak lagi. Lebih pantes disebut kakek-kakek. Tak pernah lelah, Fitri selalu menaksir untuk menentukan itulah tipe bapak-bapak yang bisa dia jadikan sasaran tembak.

Gaya bicaranya yang ceplas-ceplos itu sungguh bukan merupakan gambaran seorang lonte murahan. Entah mengapa, enak mendengarnya kala wajah tanpa dosanya mengiringi ocehan tentang dunianya itu. Sungguh sangat mengherankan, jauh dari kesan norak dan murahan. Meski topik yang dibahas sungguh mencerminkan itu.

***

“Eh Fit ...” godaku suatu ketika. “Gajimu sebulan jadi sama dengan gaji manajermu di pabrik ya ...?”

“Oooalah Mas ... Mas ... “

“Lho, kan banyak bapak-bapak pacarmu itu?”

“Mas ... mereka semua itu onderdilnya menyesuaikan dengan umur. Yang tidak menyesuaikan cuma moralnya ...” Ha ha ha ..!! ceplosnya tanpa tedeng aling-aling.

“Lha itu kan nggak masalah. Yang penting kan moralnya itu kan yang menghasilkan uang buatmu?” “Semakin liar moralnya kan semakin deras aliran uangnya ke kamu?”

“Mas Agus ini gak paham-paham ... Begini, taruhlah ada empat bapak. Setiap bapak itu sudah hebat bila dalam sebulan muncul keinginannya ..  ha ha ha ...”

Ocehannya terhenti sejenak. Sejenak untuk melepas tawa. Tawa yang tak bisa dia tahan.

“Oh begitu ya, kalau gitu ya sebulan cuma dapat berapa itu ...?”

“Yah .. paaling ninggalin dua ratus .. kali empat delapan ratus. Beli bedak seratus ribu. Lain-lain? Tisue? Rokok?”

“Dua ratus itu juga sampek berbagai jurus Fit?” tanyaku sambil menahan tawa.

“Ya gak lah Mas ... malah setruk nanti kalo kebanyakan polah ...”

“Pokoknya datang, terlentang, kejang-kejang terus pulang ...hahaha ...!” lanjut Fitri ditutup dengan tawanya yang keras.

“Ha ha ha ...!” aku ikut-ikutan ngakak tak tertahankan.

Hahhh, bikin pening saja perempuan bernama Fitri ini!

“Lha kalau nggak seberapa ya mbok ditinggal saja Fit ... cari saja bapak yang jelek sekali tapi dhuitnya banyak kan ada, terus dikawinin, maksudku dinikahin ...” kataku sekenanya.

“Ha ha ha ...!!” tanpa komando, serempak tawa kami meledak lagi.

“Mas, yang seperti itu menjadi sangat ganteng di mata perempuan-perempuan model aku ini” katanya lagi.

“He he he ... jadi ketat ya daya saingnya “ sahutku. “Lho Fit aku kan bilang yang sangat jelek, bukan yang jelek. Mungkin saja peminatnya lebih sedikit ...”

“Dah pokoknya gak ada pengaruhnya mas, meski berwajah setan sekalipun ...” jawab Fitri.

“Ha ha ha ...” tertawa lepas Si Fitri. Tawa, sesuatu yang bisa dia nikmati tanpa harus mengurangi penghasilannya.

“Eh Mas, tahu nggak. Pernah ada lho seorang bapak. Lama tidak menemuiku. Giliran ketemu aku tanya, 

"Pak, kok lama nggak menemui Fitri? Keluar kota ya?’ Tahu nggak jawabnya apa?"

Aku cuma bengong, mataku mengikuti gerak-gerak mulutnya yang fasih bercerita itu. Polos, sungguh polos kesan wajahnya ketika berceloteh.

“Ya maaf Ndhuk ... kepenginnya baru sekarang ini ...” Ha ha ha. “Tiga bulan Mas, tiga bulan baru muncul konaknya!”

“Hua ha ha ... !!!”

Batinku juga menyuarakan pendapat yang lain, “Kamu saja mungkin yang dikadalin Fit... mungkin saja kakek itu rajin mencuri uang bininya dulu. Dikumpulin agar bisa membekapmu. Nah, selama masa menabung itu dia bergumul terus dengan bininya untuk mengisi kerinduannya terhadapmu”.

“Sudah gitu Mas ... berjam-jam nggak tegak-tegak sampai tak marahi habis-habisan....!” katanya lagi.

Kata-kata yang menepis kemungkinan yang ada di benakku tadi. Benar kata Fitri, tiga bulan sekali! Fit .. Fit,  Kayak dokter yang menerima kontrol pasiennya yang sudah mau sembuh. Ha ha ha ...

Oh ya, ada satu lagi pengalaman konyol Fitri. Pagi hari itu, sewaktu aku mengantar sekolah anakku ada seorang bapak yang gelisah duduk di atas sadel sepeda motornya. Dia ada persis di mulut gang masuk kampungku. Dan di siang hari sewaktu aku berangkat menjemput anakku, eh bapak itu masih di situ! Seribu satu gambaran batin tercermin di wajahnya. Wajah yang sudah mulai terdapat gurat-gurat lipatan di berbagai bagiannya itu.

Sesampai aku di rumah, Fitri tergopoh-gopoh menemuiku.

“Mas, liat bapak yang di mulut gang itu?”

“Iya tuh, lama sekali bapak itu di situ. Memangnya kenapa?”

“Itu menunggu aku Mas, aku lagi males. Tak kibulin saja dia. Aku minta uang seratus ribu, aku pamit mau ngasih uang itu dulu ke anakku. Terus aku tinggal tidur seharian ini ...”

Hahaha !! Gendheng ... sungguh gendheng kamu Fitri!! Perempuan gila!!

Tak terbayang apa yang ada di benak bapak tadi. Tak terbayang nanti pelampiasan apa yang akan dijalankan bapak itu tadi. Mungkin sekali sadel sepeda motornya itu sekarang sudah bolong di sana-sini. Bolong sebagai pelampiasan amarah ‘senjata’ si bapak. Hahaha ... Tak terbayang!!

***

Sore itu, asik aku mengamati anak-anak kampung yang bermain layang-layang di depan rumahku. Anganku menerawang jauh ke masa kecilku. Begitu luas tanah kebun tebu di belakang rumahku. Hingga begitu bebasnya kami bermain di tanah yang lapang itu. Termasuk main layang-layang. Mau berlari berapa kilo meter membawa layang-layang itu agar dapat terbang, bukan merupakan sebuah masalah. Sungguh kontras dengan anak-anak di hadapanku itu. Mau bergeser sedikit saja agar layang-layangnya kena angin, kebentur tembok. Mau mundur sedikit, menabrak gerobak bakso Pak Man yang menjorok ke jalan. Menjadikan aku rindu akan desaku. Tanah lapang ...  suara jangkrik ... bau tanah yang kena hujan pertama kali, ... ah!

“Mas, maaf tahu kosnya Fitri?” tiba-tiba lamunanku buyar oleh suara seorang ibu. Pantes juga disebut seorang nenek.

“Itu Bu ..” jawabku sambil jariku menunjuk ke depan. Ragu-ragu aku menyebut dia ‘Bu’. “Tapi keliatannya nggak ada, motornya gak keliatan ..”

“Ibu ini ..., ibunya Fitri?“

“Oh, bukan Mas ...Anu kok Mas, itu lho Mas kok ya kebangetan, suami saya itu....” ada selintas kejengkelan yang bersenyawa dengan kepasrahan pada nada suara si ibu.

“Sakit berbulan-bulan saya rawat dengan sabar, eh sudah sembuh malah kurang ajar, kenapa dulu tidak kubiarkan modar”...

 “Yang perempuan itu kok ya sama saja ... tahu sudah kakek-kakek kok ya ditanggapi ...” setitik air mata jatuh di pangkuan ibu itu. “Ini seharian dia tidak keliatan Mas ... pasti juga sama perempuan bejat itu ...” lanjutnya.

Tiba-tiba telepon genggamku berdering. “Mas Agus ...” Belum sempat aku menjawab sudah disusul rentetan kata yang lain. “Mas Agus, tolong aku Mas .. teman kencanku mati di kamar hotel Mas, jantungan ... Masss gimana ini???” Terpancar kepanikan luar biasa dari suara yang aku dengar.

Aku diam, membayangkan Fitri di sana. Sebentar kemudian kebisuanku beralih menghadapi si ibu di depanku itu.

Solo, Juli 2012

0 komentar:

Posting Komentar