Orang tua kurus itu berdiri lama-lama. Sesungging senyum
tertahan, sambangi
bibir berkerutnya. Sekejap,
lalu sepasang bibir itu kembali mengerucut. Bibir yang tak lagi mendapati penopangnya.
Gigi-gigi hitam. Alis putih di atas matanya sesekali terangkat . Sesekali bersentuhan,
disatukan oleh kerut dahinya. Dahi yang bagian atasnya sudah tidak lagi diselimuti
rambut itu. Tebing usang yang menggelambir di depan matanya seketika tertawa. Orang
tua itu mengerang. “Aku tak bosan ada di antara onak di kakiku ...”
Dan derunya kemudian, “Sudah lama kucecap
sakit ini, rasanya tak kuat saat kau beri ruang lagi untuknya. Dan aku yakin
itu kan menjadi bantal matiku ... Huh!!”
Triiinggg ... denting makian semakin membelit isi dadanya. Dada
itupun meranggas hebat, menguapkan madah hati terhadap hidup yang dijalaninya. Bibirnya
melarik epilog kecemburuan. “Seumur-umurku telah aku letakkan pengais rejeki
itu di hadapanmu ...” “Sekiranya aku akan selalu berbaju kepelitanmu, enggan
rasanya aku meneruskan kisah ini ...tak jua mataku menatap tunas itu berkecambah”
“Malaikat maut... atau siapapun yang saat ini ada di dekat jiwaku ... aku
letakkan hidupku, kabarkan kepada pemilik rohku ...”
Tekad itu sudah bulat. Nalar itu telah mampat. Kaki lemahnya menapaki tebing usang di
depannya. “Tebing laknat ... inikah yang kau harap?!” Nafas satu-satu yang masih
kuat dihembuskan, menyertai kaki sang kakek kala menginjak tanah di batas antara
tebing itu dengan cakrawala. Di atas tebing, alis matanya bergerak-gerak
tertimpa angin. Dadanya kembang kempis menyatukan detak jantung yang semakin meronta.
Tebing itu perlahan menghitam. Senyumnya semakin dalam bersemayam di balik
bayangannya. “Lelaki pandir ...” batinnya seraya mengatupkan penglihatannya.
Secepat-cepatnya, kakek itu membawa lari raga kurusnya melewati ambang
bayu yang masih bisa diwujudkan. Sepersekian saat sebelum raga itu melewati
bibir tebing, pijakan kakinya limbung. Menjadikan orang tua itu terguling berkalang
tanah. Sebelum kaki tebing usang itu menerima jasadnya beberapa detik kemudian.
Tak ditemui kaki berkelejotan, tak ada erangan tertahan. Bahkan tak ada air
mata yang mengiringi. Hanya percik air yang jatuh beberapa meter dari atas.
Suara percikan itu menggema membentur dinding tebing yang melengkung membentuk
setengah lingkaran. “Ikuti saja arah angin, sampai penantianmu usai di ujung
jalan itu ...” bisik tebing itu saat tubuh si kakek melayang di depannya.
***
Kakek itu berdiri. Tiiiiingg ... “Eh, aku terbang ...” Dia
melihat ke bawah. Jasadnya membujur kaku. Darah mengalir di beberapa bagian
tubuh diamnya. Gelap gulita di sekelilingnya. Namun hanya sesaat. Sesaat
kemudian, gelap itu memudar. Perlahan menjadi semakin terang. Hingga akhirnya
semua hanyalah terang yang ada. Orang tua itu memejamkan matanya, membiasakan
pandangannya dengan cahaya yang diterima. Ketika dia membuka mata, semua sudah
tertutup terang berkilauan. Tak tampak jasad berdarahnya. Tak tampak lagi tebing
yang selalu menertawakan keputusasaannya. Dan tak tampak juga semua pohon di
dasar jurang itu. Semua hilang. Tiba-tiba, rambutnya bergerak tertiup angin.
Tangan orang tua itu meraba kepalanya. “Eh, ada rambut di kepalaku ...”
gumamnya. Dia menoleh ke arah desiran angin itu. Di hadapannya terbentang jalan
yang lebar. Semua tertutup cahaya putih. Sebentuk pepohonan yang semuanya
berwarna putih ada di kedua sisi jalan itu. “Jalan putih ...” desisnya. “Aku
harus ikuti jalan ini”, katanya kemudian sambil menyeringai menahan hawa panas
yang ditimbulkan oleh uap di sepanjang jalan itu. Semakin dia mengikuti jalan
itu, semakin kuat hawa panas yang ditimbulkan.
Susah payah dia menahan hawa panas itu. Akhirnya pada satu
kelokan, dia menjumpai seseorang. Orang dengan perawakan tubuh yang sangat tinggi.
Tangan kiri orang itu mendekap sebuah buku, sedangkan tangan kanannya membawa sebatang tongkat pendek. Tongkat yang
dia pakai untuk menunjuk-nunjuk kala dia berbicara. Di tubuh orang itu
menjuntai satu lilitan kain berwarna putih. Satu-satunya yang tidak berwarna
putih adalah matanya. Mata itu tajam menyorot seperti api, berwarna merah.“Siapakah
dirimu?” tanya orang itu. “Somplak ...” jawab sang kakek. “Bukan jawaban bodoh
itu yang aku mau!” hardik orang itu. Kakek Somplak terdiam, tidak mengerti apa
yang dimaksudkan oleh orang tinggi itu. “Kamu tidak ada di catatanku hari ini”
akhirnya orang itu membuka suara lagi. “Kau tidak boleh masuk, namamu belum ada
di kitab ini ... berdiamlah di situ”, kata orang itu sambil menunjuk-nunjukkan
tongkatnya ke arah buku di tangan kirinya.
Kakek Somplak menunduk terdiam. Batinnya membenarkan ucapan
orang itu. “Tapi ...“ ucapannya terhenti karena dia tidak mendapati lagi orang putih
itu di hadapannya. Pasrah, kakek itu merebahkan dirinya di jalanan putih itu.
“Orang putih ... aku
haus!” teriak orang tua itu setelah tak mampu lagi menahan kering di
kerongkongannya.
“Pikirkanlah bahwasannya dirimu sedang minum ...” hanya
suara yang dia dengar. Tak didapati siapapun ketika dia tolehkan kepalanya ke
arah suara itu.
“Kasihani aku Orang Putih ... aku juga sangat lapar ...!”
Suara itu terdengar lagi, “Pikirkanlah bahwasannya dirimu
sedang makan”
“Tolong aku Orang Putih ... di sini panas sekali ..., Heh,
tidak usah dijawab! Aku bisa membayangkan sedang ada di taman yang sejuk! Setan
alas!!” mulai hilang kesabaran Kakek Somplak.
“Ho hoh hoh hoh hoh hoooh...” nyaring bergema terdengar tawa
orang putih itu.
Dengan amarah di dada, kakek itu berlari ke depan, ke arah
samar terlihat sebuah gerbang. Baru beberapa jengkal, tubuhnya terantuk semacam
sekat tak kasat mata. Dia hantam sekat itu sekuat tenaga. Demikian berkali-kali
dia lakukan. Merasa sia-sia, sang kakek berlari menjauhi sekat itu. Bermaksud
kembali ke waktu pertama kali dia melihat jalan putih itu. “Di sana tidak
begitu panas ...” batinnya. Baru beberapa langkah, kembali tubuhnya terantuk
sekat tak terlihat.
“Orang Putihhhhhhh .... !!”
teriaknya pasrah.
***
“Somplak, ikut aku!” dengan setengah tertatih kakek Somplak
mengikuti orang putih itu. Penderitaan luar biasa telah meluputkan perhatiannya
terhadap sekat yang mengurungnya. Dia tidak menyadari kalau sekat itu sudah tak
ada lagi. Tubuhnya gontai berjalan mengikuti di belakang orang putih itu. Mata
Kakek itu membelalak tatkala orang putih itu menghentikan langkahnya. “Tebing
usang ...” desisnya. Baru saja dia mau membuka mulutnya lebih jauh, orang putih
itu sudah menyilangkan jari telunjuk di mulutnya. Di depan mereka, berdiri seorang kakek dengan posisi menghadap bibir
tebing.
“Tebing usang ... kau menjadi saksi ketika Kakek Somplak jatuh
dari punggungmu ... kau menjadi saksi perjuangan tulus kakek Somplak ... Kakek
yang telah menyengatkan getaran nurani orang yang menyaksikan kisahnya. Matiku
pantas disaksikan keluhurannya!” kata orang di bibir jurang itu.
“Kau dengar itu Orang Putih?! Aku tidak bunuh diri!” teriak
Kakek Somplak penuh harap. Sontak saat
itu juga sinar matanya menyampaikan sebuah harapan ke arah orang putih.
“Buka topengmu itu!!” hardik orang putih. “Kalau kau tidak
pernah bisa mengakui kesalahanmu, akan semakin lama dirimu ada di jalan putih
itu”. “Dan jangan sekali-kali kau anggap aku bodoh!!”
“Siapa orang itu?” tanya Kakek Somplak.
“Cucumu ...”
“Cucuku? Berapa lama aku di jalan putih?”
“Lima puluh tahun ...”
“Lima puluh tahun?! Kau panggang aku lima puluh tahun? Tidakkah
mulut orang-orang itu menjadi pertimbanganmu?”
“Semakin mereka memujamu, semakin lama kau akan berada di
jalan putih itu...”
Seketika terkunci rapat mulut si kakek.
***
“Lihat itu Somplak ...”, kata orang putih kepada kakek
Somplak.
“Apalah gunanya ... toh tidak juga kau tawarkan kepadaku
sebuah pilihan ....”, tanpa hasrat
kata-kata itu keluar dari mulut si kakek.
“Karena kebodohanmu ... setan telah membuka rumahnya di
tebing itu ...”
Setengah hati, kakek Somplak menolehkan pandangannya ke
Tebing Usang. Matanya sedikit menyiratkan keingintahuan.
“Kenapa cucuku tidak jadi mati?!”
“Setan tebing itu telah menawarkan hasrat kepada cucumu ...,
dan kini orang-orang mengikuti jejaknya...”, dalam suara orang putih itu.
Begitu dalam hingga hampir tak terdengar oleh kakek Somplak. “Ini semua salahmu
lima puluh tahun yang lalu ...” lanjutnya. Kakek Somplak tidak begitu mengerti
maksud si orang putih. Matanya menembus jarak, memandangi sekumpulan orang di
atas bukit itu.
Sungguh sebuah ketidakmengertian yang didapati sang kakek dengan
apa yang ada di depan matanya. Benaknya terisi berbagai kecamuk menyaksikan
kejadian di atas bukit itu. Orang-orang di tebing itu datang
berpasang-pasangan. Mulut mereka komat-kamit melontarkan permohonan.
“Kakek Somplak,
kami datang meminta rejeki kepadamu. Kami terima apa perintahmu untuk kekayaan
yang hendak kau berikan kepada kami ...”
Kakek Somplak mengerenyitkan dahinya.
“Sejak kapan aku kuasa memberi limpahan rejeki kepada makhluk-makhluk itu?”
Sejenak benaknya menelusuri jalan hidupnya. Tak jua dia temui saat dia mampu
mengabulkan permintaan orang.
Tiba-tiba dia melihat sebuah bayangan hitam. Bayangan yang membisikkan
sesuatu di telinga orang-orang itu. Menyeringai penuh kemenangan kala usai
membisiki telinga orang-orang itu. Bau dupa menyeruak di antara pepohonan. Dupa
yang semakin menggunung dibakar oleh orang-orang itu. Dupa yang sudah
menyerupai gunung kecil itu, di bawahnya tertutup taburan kembang.
Beberapa saat kemudian, orang-orang itu saling bertukar
pasangan. Kini mereka bergandengan tangan dengan masing-masing pasangan barunya.
Bergeser beberapa jarak. Tiba-tiba kakek Somplak menutup matanya. Dadanya tidak
kuat menerima beban rasa ketika matanya menyaksikan sebuah peristiwa. Sekumpulan
anak manusia itu saling membuka tempelan benang yang melekat di tubuhnya. Setelah
hanya berbalut udara dingin tebing itu, mereka saling tindih. Bayangan hitam
semakin lebar menyeringai. Di sisi lain, air mata mengalir di kedua mata Tebing
Usang.
Akhirnya kakek Somplak menyadari apa yang ada di hadapannya.
Wajah-wajah manusia yang berusaha melepaskan berbagai cerita. Wajah-wajah itu
berserakan di antara kelimpungan hasrat. Melepaskan bau kehidupan yang semakin
amis. Sempoyongan, terpelanting hingga akhirnya tergolek di sebuah papan
kenistaan.
Tak sadar, kakek Somplak menyeka matanya. Mengusap
butir-butir air di kedua sudut matanya. Orang Putih tersenyum getir, lega
melihat air mata kakek Somplak.
“Kiranya ini adalah saat penantianku di ujung pengujianmu
...” gumam orang putih.
Solo, Des’12