Saya adalah pelaku pena berasal dari sebuah kota budaya kecil Surakarta Jawa Tengah Indonesia. Tertarik pada sebuah sisi kehidupan dari peradaban ini.
Di samping itu, karena latar belakang pendidikan saya di Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Inggris Universitas Sebelas Maret Surakarta, saya juga terlibat dalam kegiatan menerjemahkan Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia dan sebaliknya.
Blog ini adalah salah satu wahana di mana saya menumpahkan segala gagasan dan ketertarikan saya kepada kehidupan ini.
Jika Anda tertarik untuk berinteraksi lebih jauh dengan saya, silakan terlibat dalam kehidupan saya. ( jasa terjemahan online ) di: 0271-5884647 a.n Agus Sulistyo


Senin, 31 Desember 2012

Perempuan Sekat Hidup




Pagi pelan beringsut. Sinarnya merangkak di sekat sebuah bilik. Pelan ... tak sepelan hasrat perempuan empat puluhan tahun itu untuk meninggalkan tangis hatinya. Dengan segenggam harap di telapak tangan. Sekenanya dia rapikan tubuhnya. Sesaat dia hembuskan nafasnya untuk memuntahkan rasa salah di sudut hatinya. Sebelum sekat-sekat itu menyaksikan bayang tubuh lemahnya meninggalkan ruang itu. Meninggalkan seorang laki-laki yang menjadi bagian cerita salah satu malamnya. Laki-laki yang masih terlena. Bergulat mengembalikan tenaga yang dia pakai untuk mengabulkan hasratnya ...

“Terima kasih ya Mas ...” katamu pelan kepadaku. Aku tersenyum. Mataku enggan beralih dari dua bocah itu. Tertawa lepas. Tawa yang menari di sela-sela percik air. Butir-butir air yang melayang ke udara terantuk telapak-telapak mungil itu. “Ayo Le ... sudah mandinya, masuk angin nanti. Pakai baju terus nanti jalan-jalan liat kembang api ya Nak ...” Mata kedua bocah itu begitu berbinar. Menyorotkan rasa hati mereka. “Horeeee nanti liat kembang api ... kembang api!” Aku ambil nafasku, aku hentakkan kuat-kuat. Terbayar sudah ketidakmampuanku membuang tangis kedua bocah itu semalaman. Kedua bocah yang tidak sempat tuntaskan mimpinya. Menyayatkan rintihan di atas bantal. Tangis kehilangan kehangatan di pekat dingin malam. Di antara deras hujan. Menanti sang ibu kembali. Kembali dari mempertaruhkan jiwanya untuk kedua buah nafasnya.

“Maafkan aku ya Mas, selalu rmerepotkanmu ...” Dan selalu saja aku hanya tersenyum. Senyum getir menertawakan kebodohanku. Ketidakmengertianku terhadap sketsa hidup yang ada di hadapanku. Aku hanya bisa memelihara rasa ini di salah satu ruang batinku. Selalu terhenti pada sebuah keinginan. Dan aku selalu datang terlambat. Datang di saat tangis-tangis itu telah pecah. “Pak, nanti ikut liat kembang api ya ...” suara anak ragilku membuyarkan anyaman di kepalaku.

“Mas, aku titip anak-anakku sebentar ya ...” Aku hanya ternganga. Seperti biasa, sorot mataku tak pernah mampu hentikan langkahmu. “Hanya sebentar kok Mas, aku sudah janji sama anak-anak ...” gema suaramu hilang ditelan deru motor yang membawa tubuhmu. Terbawa serta sepotong harapan kedua anakmu.

Malam begitu cepat merayap. Membelit sebuah penantian. Secepat kilat aku datangi kedua bocah itu. Kali inipun aku terlambat! Kedua bocah itu telah melukiskan kesendiriannya di atas bantal itu. Aku dekap erat. Aku tampar kedua pipiku untuk mengusir kelemahanku. “Kita lihat kembang api ... Kita bersama melihat kembang api itu ...”

Aku sendiri ... ketiga anakku sendiri ... kedua bocah amanah itu sendiri .... Artinya kini tidak ada yang sendiri. Aku tersenyum, semakin lebar ... hingga membahanakan tawaku. Bersanding dengan tawa kelima anak manusia itu! “Tetetet ... teeeeet ...  teeeeet .... selamat tahun baru kelima anakku!” Tawa kami pecah. Berhamburan ke udara. Berkumpul dengan tawa-tawa lain. Tawa pijakan untuk tetap menjaga keinginan baik. Keinginan baik untuk menyongsong pintu hari baru. Langit yang biasanya muram. Ikut terkekeh-kekeh. Geli digelitik si kembang api.

Kamis, 27 Desember 2012

Tebing Somplak


Orang tua kurus itu berdiri lama-lama. Sesungging senyum tertahan, sambangi  bibir berkerutnya. Sekejap, lalu sepasang bibir itu kembali mengerucut. Bibir yang tak lagi mendapati penopangnya. Gigi-gigi hitam. Alis putih di atas matanya sesekali terangkat . Sesekali bersentuhan, disatukan oleh kerut dahinya. Dahi yang bagian atasnya sudah tidak lagi diselimuti rambut itu. Tebing usang yang menggelambir di depan matanya seketika tertawa. Orang tua itu mengerang. “Aku tak bosan ada di antara onak di kakiku ...”  Dan derunya kemudian, “Sudah lama kucecap sakit ini, rasanya tak kuat saat kau beri ruang lagi untuknya. Dan aku yakin itu kan menjadi bantal matiku ... Huh!!”

Triiinggg ... denting makian semakin membelit isi dadanya. Dada itupun meranggas hebat, menguapkan madah hati terhadap hidup yang dijalaninya. Bibirnya melarik epilog kecemburuan. “Seumur-umurku telah aku letakkan pengais rejeki itu di hadapanmu ...” “Sekiranya aku akan selalu berbaju kepelitanmu, enggan rasanya aku meneruskan kisah ini ...tak jua mataku menatap tunas itu berkecambah” “Malaikat maut... atau siapapun yang saat ini ada di dekat jiwaku ... aku letakkan hidupku, kabarkan kepada pemilik rohku ...”

Tekad itu sudah bulat. Nalar itu telah mampat.  Kaki lemahnya menapaki tebing usang di depannya. “Tebing laknat ... inikah yang kau harap?!” Nafas satu-satu yang masih kuat dihembuskan, menyertai kaki sang kakek kala menginjak tanah di batas antara tebing itu dengan cakrawala. Di atas tebing, alis matanya bergerak-gerak tertimpa angin. Dadanya kembang kempis menyatukan detak jantung yang semakin meronta. Tebing itu perlahan menghitam. Senyumnya semakin dalam bersemayam di balik bayangannya. “Lelaki pandir ...” batinnya seraya mengatupkan penglihatannya.

Secepat-cepatnya, kakek itu membawa lari raga kurusnya melewati ambang bayu yang masih bisa diwujudkan. Sepersekian saat sebelum raga itu melewati bibir tebing, pijakan kakinya limbung. Menjadikan orang tua itu terguling berkalang tanah. Sebelum kaki tebing usang itu menerima jasadnya beberapa detik kemudian. Tak ditemui kaki berkelejotan, tak ada erangan tertahan. Bahkan tak ada air mata yang mengiringi. Hanya percik air yang jatuh beberapa meter dari atas. Suara percikan itu menggema membentur dinding tebing yang melengkung membentuk setengah lingkaran. “Ikuti saja arah angin, sampai penantianmu usai di ujung jalan itu ...” bisik tebing itu saat tubuh si kakek melayang di depannya.

***

Kakek itu berdiri. Tiiiiingg ... “Eh, aku terbang ...” Dia melihat ke bawah. Jasadnya membujur kaku. Darah mengalir di beberapa bagian tubuh diamnya. Gelap gulita di sekelilingnya. Namun hanya sesaat. Sesaat kemudian, gelap itu memudar. Perlahan menjadi semakin terang. Hingga akhirnya semua hanyalah terang yang ada. Orang tua itu memejamkan matanya, membiasakan pandangannya dengan cahaya yang diterima. Ketika dia membuka mata, semua sudah tertutup terang berkilauan. Tak tampak jasad berdarahnya. Tak tampak lagi tebing yang selalu menertawakan keputusasaannya. Dan tak tampak juga semua pohon di dasar jurang itu. Semua hilang. Tiba-tiba, rambutnya bergerak tertiup angin. Tangan orang tua itu meraba kepalanya. “Eh, ada rambut di kepalaku ...” gumamnya. Dia menoleh ke arah desiran angin itu. Di hadapannya terbentang jalan yang lebar. Semua tertutup cahaya putih. Sebentuk pepohonan yang semuanya berwarna putih ada di kedua sisi jalan itu. “Jalan putih ...” desisnya. “Aku harus ikuti jalan ini”, katanya kemudian sambil menyeringai menahan hawa panas yang ditimbulkan oleh uap di sepanjang jalan itu. Semakin dia mengikuti jalan itu, semakin kuat hawa panas yang ditimbulkan. 

Susah payah dia menahan hawa panas itu. Akhirnya pada satu kelokan, dia menjumpai seseorang. Orang dengan perawakan tubuh yang sangat tinggi. Tangan kiri orang itu mendekap sebuah buku, sedangkan tangan kanannya  membawa sebatang tongkat pendek. Tongkat yang dia pakai untuk menunjuk-nunjuk kala dia berbicara. Di tubuh orang itu menjuntai satu lilitan kain berwarna putih. Satu-satunya yang tidak berwarna putih adalah matanya. Mata itu tajam menyorot seperti api, berwarna merah.“Siapakah dirimu?” tanya orang itu. “Somplak ...” jawab sang kakek. “Bukan jawaban bodoh itu yang aku mau!” hardik orang itu. Kakek Somplak terdiam, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh orang tinggi itu. “Kamu tidak ada di catatanku hari ini” akhirnya orang itu membuka suara lagi. “Kau tidak boleh masuk, namamu belum ada di kitab ini ... berdiamlah di situ”, kata orang itu sambil menunjuk-nunjukkan tongkatnya ke arah buku di tangan kirinya.
Kakek Somplak menunduk terdiam. Batinnya membenarkan ucapan orang itu. “Tapi ...“ ucapannya terhenti karena dia tidak mendapati lagi orang putih itu di hadapannya. Pasrah, kakek itu merebahkan dirinya di jalanan putih itu.

“Orang putih ... aku haus!” teriak orang tua itu setelah tak mampu lagi menahan kering di kerongkongannya.

“Pikirkanlah bahwasannya dirimu sedang minum ...” hanya suara yang dia dengar. Tak didapati siapapun ketika dia tolehkan kepalanya ke arah suara itu.

“Kasihani aku Orang Putih ... aku juga sangat lapar ...!”

Suara itu terdengar lagi, “Pikirkanlah bahwasannya dirimu sedang makan”

“Tolong aku Orang Putih ... di sini panas sekali ..., Heh, tidak usah dijawab! Aku bisa membayangkan sedang ada di taman yang sejuk! Setan alas!!” mulai hilang kesabaran Kakek Somplak.

“Ho hoh hoh hoh hoh hoooh...” nyaring bergema terdengar tawa orang putih itu.

Dengan amarah di dada, kakek itu berlari ke depan, ke arah samar terlihat sebuah gerbang. Baru beberapa jengkal, tubuhnya terantuk semacam sekat tak kasat mata. Dia hantam sekat itu sekuat tenaga. Demikian berkali-kali dia lakukan. Merasa sia-sia, sang kakek berlari menjauhi sekat itu. Bermaksud kembali ke waktu pertama kali dia melihat jalan putih itu. “Di sana tidak begitu panas ...” batinnya. Baru beberapa langkah, kembali tubuhnya terantuk sekat tak terlihat.

“Orang Putihhhhhhh .... !!”  teriaknya pasrah.

***

“Somplak, ikut aku!” dengan setengah tertatih kakek Somplak mengikuti orang putih itu. Penderitaan luar biasa telah meluputkan perhatiannya terhadap sekat yang mengurungnya. Dia tidak menyadari kalau sekat itu sudah tak ada lagi. Tubuhnya gontai berjalan mengikuti di belakang orang putih itu. Mata Kakek itu membelalak tatkala orang putih itu menghentikan langkahnya. “Tebing usang ...” desisnya. Baru saja dia mau membuka mulutnya lebih jauh, orang putih itu sudah menyilangkan jari telunjuk di mulutnya. Di depan mereka, berdiri  seorang kakek dengan posisi menghadap bibir tebing.

“Tebing usang ... kau menjadi saksi ketika Kakek Somplak jatuh dari punggungmu ... kau menjadi saksi perjuangan tulus kakek Somplak ... Kakek yang telah menyengatkan getaran nurani orang yang menyaksikan kisahnya. Matiku pantas disaksikan keluhurannya!” kata orang di bibir jurang itu.

“Kau dengar itu Orang Putih?! Aku tidak bunuh diri!” teriak Kakek Somplak penuh harap. Sontak  saat itu juga sinar matanya menyampaikan sebuah harapan ke arah orang putih.

“Buka topengmu itu!!” hardik orang putih. “Kalau kau tidak pernah bisa mengakui kesalahanmu, akan semakin lama dirimu ada di jalan putih itu”. “Dan jangan sekali-kali kau anggap aku bodoh!!”

“Siapa orang itu?” tanya Kakek Somplak.

“Cucumu ...”

“Cucuku? Berapa lama aku di jalan putih?”

“Lima puluh tahun ...”

“Lima puluh tahun?! Kau panggang aku lima puluh tahun? Tidakkah mulut orang-orang itu menjadi pertimbanganmu?”

“Semakin mereka memujamu, semakin lama kau akan berada di jalan putih itu...”

Seketika terkunci rapat mulut si kakek.

***

“Lihat itu Somplak ...”, kata orang putih kepada kakek Somplak.

“Apalah gunanya ... toh tidak juga kau tawarkan kepadaku sebuah pilihan ....”,  tanpa hasrat kata-kata itu keluar dari mulut si kakek.

“Karena kebodohanmu ... setan telah membuka rumahnya di tebing itu ...”

Setengah hati, kakek Somplak menolehkan pandangannya ke Tebing Usang. Matanya sedikit menyiratkan keingintahuan.

“Kenapa cucuku tidak jadi mati?!”

“Setan tebing itu telah menawarkan hasrat kepada cucumu ..., dan kini orang-orang mengikuti jejaknya...”, dalam suara orang putih itu. Begitu dalam hingga hampir tak terdengar oleh kakek Somplak. “Ini semua salahmu lima puluh tahun yang lalu ...” lanjutnya. Kakek Somplak tidak begitu mengerti maksud si orang putih. Matanya menembus jarak, memandangi sekumpulan orang di atas bukit itu.

Sungguh sebuah ketidakmengertian yang didapati sang kakek dengan apa yang ada di depan matanya. Benaknya terisi berbagai kecamuk menyaksikan kejadian di atas bukit itu. Orang-orang di tebing itu datang berpasang-pasangan. Mulut mereka komat-kamit melontarkan permohonan.

“Kakek Somplak, kami datang meminta rejeki kepadamu. Kami terima apa perintahmu untuk kekayaan yang hendak kau berikan kepada kami ...”

Kakek Somplak mengerenyitkan dahinya. “Sejak kapan aku kuasa memberi limpahan rejeki kepada makhluk-makhluk itu?” Sejenak benaknya menelusuri jalan hidupnya. Tak jua dia temui saat dia mampu mengabulkan permintaan orang.

Tiba-tiba dia melihat sebuah bayangan hitam. Bayangan yang membisikkan sesuatu di telinga orang-orang itu. Menyeringai penuh kemenangan kala usai membisiki telinga orang-orang itu. Bau dupa menyeruak di antara pepohonan. Dupa yang semakin menggunung dibakar oleh orang-orang itu. Dupa yang sudah menyerupai gunung kecil itu, di bawahnya tertutup taburan kembang.

Beberapa saat kemudian, orang-orang itu saling bertukar pasangan. Kini mereka bergandengan tangan dengan masing-masing pasangan barunya. Bergeser beberapa jarak. Tiba-tiba kakek Somplak menutup matanya. Dadanya tidak kuat menerima beban rasa ketika matanya menyaksikan sebuah peristiwa. Sekumpulan anak manusia itu saling membuka tempelan benang yang melekat di tubuhnya. Setelah hanya berbalut udara dingin tebing itu, mereka saling tindih. Bayangan hitam semakin lebar menyeringai. Di sisi lain, air mata mengalir di kedua mata Tebing Usang.

Akhirnya kakek Somplak menyadari apa yang ada di hadapannya. Wajah-wajah manusia yang berusaha melepaskan berbagai cerita. Wajah-wajah itu berserakan di antara kelimpungan hasrat. Melepaskan bau kehidupan yang semakin amis. Sempoyongan, terpelanting hingga akhirnya tergolek di sebuah papan kenistaan.

Tak sadar, kakek Somplak menyeka matanya. Mengusap butir-butir air di kedua sudut matanya. Orang Putih tersenyum getir, lega melihat air mata  kakek Somplak.

“Kiranya ini adalah saat penantianku di ujung pengujianmu ...” gumam orang putih.


Solo, Des’12

Jumat, 21 Desember 2012

Berenanglah di Sisi Perahuku



Seloka bimbang itu selalu terbawa pulang ...
Sepenanak nasi, namun tak mau berhenti, berkhalwat di keramaian hati
dan ... di antara retakan itu, kau menawarkan sebuah keinginan
“Kita dapat berlayar pada satu perahu ...”

(yang terbuang kuat bertandang...
gurauan tlah usai ... menjadi sindiran, bahkan makian
Hingga pelita pengakuan terlepaskan, berganti dekapan kemarahan)

“Kita dapat berjalan bersama...” pintamu lagi

Kau tawarkan kisah yang bermutu, karena adanya larutan nilai ...
Namun nyaring yang kudengar adalah ‘tukuk tambah, puak keriuhan yang sukar ditelan’,
membuang yang bernafas, berkawin dengan kematian
bertanyakan kepada kebisuan ...
Pelan aku dayung sampanku, mengayun riak air
di atas sampan, mereka membelah lena, tersenyum kepada langit
mungkinkah bau tubuhmu akan menenggelamkan bidukku?
Yang kutahu ... air tetaplah air, pasir tetaplah pasir
tak ada yang menyuburkan sebuah kemauan

Rabu, 19 Desember 2012

Sebuah Novel


BAB I
Mas Kondung


1940-an. Menjelang senja, pelan aku kayuh Humber Ladys Coventry, sepeda perempuan model Beeston buatan Inggris tahun 1930. Sepeda yang didapat bapakku dari seorang perempuan tangguh. Bu Warni, perempuan paruh baya yang masih dari garis familiku itu pekerjaannya berdagang berbagai macam perhiasan dan batik. Bu Warni terkenal dengan sebutan para, sebutan untuk orang yang pekerjaannya menjual berlian. Tetapi tak jarang dia mau mencarikan barang-barang lain selain perhiasan jika orang-orang membutuhkan. Sepeda itu telah beberapa tahun ini menemaniku menyusuri jalan-jalan, mengantarku ke tempat-tempat di mana aku mengasah jiwa, sebagai bekal dalam mengarungi hidup ini.



Di sisi kiri jalan yang aku lalui, kulihat beberapa penduduk desa saling bercengkerama dengan tetangganya di emperan rumah mereka. Bapak-bapak mulai memasang lampu minyak sebagai penerang di jalan depan rumah-rumah mereka. Lampu-lampu yang digantung di sebatang bambu itu kelihatan indah ketika malam menjemput. Meski jaraknya tidak sama antara lampu satu dengan lampu yang lain, tetapi karena dilihat memanjang, kebetulan jalan dekat rumahku itu lurus agak panjang, nampaklah rapi berjajar kerlap-kerlip lampu itu. Beberapa ibu membawa piring yang terbuat dari seng, sambil berteriak kepada anak mereka yang sedang disuapi.”Ayooo, habiskan maemnya dulu Le...”, teriak seorang ibu sambil mengejar anaknya yang kelihatannya susah makan. Sesekali aku tersenyum kepada mereka. 

Di sisi kanan, terhampar persawahan luas kering kerontang yang menjadi tempat untuk menggembalakan ternak. Tempat yang sekaligus menjadi arena bermain mereka. Anak-anak kurus bertelanjang dada itu, berlarian tertawa-tawa saling canda. Sebagian mengais-ngais lobang memanjang rekahan tanah kering mencari jangkrik yang bersembunyi di situ. Anak-anak itu memang suka memelihara jangkrik untuk diadu. Meski hanya untuk kesenangan, adu jangkrik itu bisa ramai sekali. Begitu ramainya sampai jangkrik-jangkrik itu masing-masing diberi nama julukan. Terutama jangkrik yang seringkali memenangi aduan. Ada yang diberi nama Gajahmada, Ken Arok, Jaka Tinggkir dan sebagainya. Bahkan ada jangkrik yang diberi nama Nero, nama kaisar Romawi yang terkenal kejam itu. Jangkrik itu berwarna merah kayak sinyo-sinyo yang sering kami lihat di Kawedanan. Karena itulah kenapa si pemilik jangkrik itu memberi nama jangkriknya Nero. Mungkin di benaknya semua orang luar negeri itu sinyo Belanda, termasuk si Nero itu...Ha..ha..ha..

Burung-burung jalak hitam sibuk mencari makan di punggung-punggung kerbau, asik masyuk menikmati lezat kutu kebo-kebo ternak itu. Anak-anak itupun tidak mengusik keberadaan burung jalak itu. Seolah mereka tahu bahwa burung-burung itu bermanfaat bagi ternak mereka. Entah sesungguhnya mereka paham apa tidak. Di awang-awang, serombongan burung sriti bercanda menghabiskan waktu sebelum senja meninabobokan mereka. Sementara di dahan-dahan pohon trembesi di kedua sisi jalan pertengahan sawah, prenjak-prenjak riang menyanyi. Bukan nyanyian yang mengabarkan bahwa sebentar lagi akan ada tamu yang datang. Prenjak-prenjak lincah itu menyanyi untuk diri mereka sendiri. Nyanyian penghantar istirahat agar esok hari bisa bernyanyi lagi.

Di lahan persawahan yang agak jauh, terlihat lambaian serumpunan pohon tebu milik perkebunan pemerintah Belanda yang menyewa tanah sawah petani. Kebun tebu, mengingatkanku ketika aku seusia anak-anak itu. Setengah mati mengumpulkan keberanian. Menanti terlenanya si penjaga kebun tebu yang sebutannya sebe. Setelah peluang itu aku dapatkan, secepat angin aku masuk ke kebun tebu itu dan mencuri beberapa batang tebu. Pulang dengan seikat batang tebu lewat pintu belakang rumah. Di sana telah menunggu bapak dengan muka dingin. “Sini..!”, kata Bapak sambil melambaikan tangan agar aku mendekat. Akupun mendekat. Tanpa ngomong sepatah katapun, bapak mengambil tebu-tebu itu dari gendonganku. Dengan sabit yang telah ada di tangannya lalu, “Cras...cras....cras...” Tak lama, batang-batang tebu itu sudah berubah menjadi kepingan-kepingan kecil. “Buang!” perintah bapak kepadaku. Di tangan bapak masih tersisa setengah batang tebu, kira-kira panjangnya sedhepa. “Ini buatmu, bakar dulu biar tidak batuk....” Sebenarnya ingin aku membuang sekalian sisa batang tebu itu bersama kepingan-kepingan tebu tadi. Rasa tebu yang telah dibakar itu bikin aku mau muntah. Tetapi aku tidak mempunyai cukup nyali untuk sekedar meminta ijin membuangnya, takut dikira membangkang. Terpaksa aku menuruti kemauan Bapak, yang pada akhirnya aku harus menguatkan syaraf-syaraf di kepalaku untuk menahan rasa mau muntah itu.

Sesekali aku menghindari debu musim kemarau, debu yang diterbangkan oleh pedati-pedati petani yang membawa berbagai sayuran. Beraneka macam sayur yang ditumpuk di atas jerami-jerami sisa panen padi. Debu itu membuat kerongkonganku kering dan mata menjadi merah. Bapak-bapak petani dengan caping kecil nampak saling bergegas menuju rumah masing-masing. Ada yang searah denganku dan ada yang berlawanan arah denganku. “Mangga Den...,” sapa bapak-bapak yang berpapasan arah denganku. Mereka menyapaku sambil tangannya mengangkat caping mereka, sebagai tanda menghormat kepadaku. Aku tersenyum sambil mengangguk. Mereka memang sangat menghormati bapakku sebagai kepala desa yang telah mengayomi mereka selama berpuluh-puluh tahun, sehingga hal-hal menyangkut bapakku mereka sangat menaruh hormat. Termasuk kepadaku.

...even after the Netherlands had been taken over by Nazi Germany, the Dutch still held onto their colonies. For over a year and a half, the Netherlands East Indies government continued to rule over Indonesia. Efforts by Indonesian activists to organize self-rule were... 

Lamat-lamat aku mendengar berita dari stasiun radio Solose Radio Vereneging, yang lebih sering disingkat SRV, stasiun siaran radio pertama kali yang didirikan bumi putera anggota Nivira, Netherland Indice Vereneging Radio Amateur, sebuah perkumpulan radio amatir milik pemerintah Belanda. Dari penggalan berita itu aku merasakan bahwa kedudukan Belanda semakin terjepit, namun Belanda masih berusaha untuk bisa menguasai negaraku. Perasaanku juga mengatakan bahwa akan terjadi perubahan besar di bumi pertiwiku ini.

 “Mas Kondung....Mas Kondung...Horeeee.... Mas Kondung...!”. Seperti biasa, adik perempuanku yang berumur 3 tahun girang bukan kepalang menyambut kedatanganku sore itu. Selalu saja mengguratkan perasaan haru gembira setiap mendengar celoteh itu, meskipun aku alami hampir setiap sore, kecuali pada hari minggu. Selalu saja perasaan itu tanpa dikomando bergulir di lubuk hatiku begitu saja. Adikkupun berlari ke arahku, aku bopong dia, aku dudukkan di sadel sepedaku. Akupun pindah ke boncengan belakang. Satu tangan memegangi adikku, satu memegangi stang sepeda, aku genjot sepedaku berkeliling halaman untuk menyenangkan hati adikku. Mata adikku berbinar-binar memandangi apa saja yang ada di sekitar situ, seolah mau berteriak, “Kangmasku yang paling baik... kangmasku yang sangat menyayangiku....kangmasku akan selalu menjagaku, menjaga dengan segenap kasihnya....” Sungguh, binar kedua bola mata adik perempuanku itu ketika menatapku menyiramkan beribu-ribu rasa bahagia...beribu asa, entah asa apa. Aku sangat yakin kelak itu adalah asa yang akan sangat membahagiakan kami....ah.

Saudaraku tidak hanya adik perempuanku Darni itu saja. Aku punya satu kakak perempuan namanya Yu Darti. Dia sudah berumah tangga dan sudah tinggal di rumahnya sendiri di Sala, dan di atas adik perempuanku itu masih ada lagi dua adik laki-lakiku, Darno dan Daryo. Ragilkah adik perempuanku itu? Bukan! Di bawah adik perempuanku itu masih ada satu lagi adikku yang masih bayi merah, laki-laki namanya Darwo. Ini yang bungsu.

Kasihan kakak perempuanku itu. Dulu, dia mempunyai teman sekolah yang mau mengambil dia sebagai istri. Kakakku satu itu memang cantik sekali. Temannya itu anak seorang pedagang yang terkenal cukup berada. Keluarganya membuka rumah makan di Sala. Rumah makan itu terkenal menjadi langganan orang-orang Belanda dan pribumi-pribumi kaya keluarga Keraton Kasunan Surakarta. Bapakku tidak setuju, karena bapak teman mbakyuku itu mempunyai dua istri. “Buah itu tidak jauh jatuhnya dari pohonnya Ndhuk....” demikian kata Bapak saat itu. Bapak menerangkan panjang lebar untuk mencari alasan pembenaran dari pendapatnya itu. Menurut Bapak, agar menjadi calon pasangan yang baik harus memperhatikan bibit, bebet, dan bobot.

“Bukan bermaksud membeda-bedakan Ndhuk”, terang Bapak.

Bibit adalah asal-usul keturunan. Orang tua selalu ingin memastikan bahwasannya calon menantunya adalah dari keluarga baik-baik. Bebet adalah asah-asih-asuh yang diperoleh dari lingkungan terdekatnya, yang kelak akan membantu membentuk budi pekerti. Sedangkan bobot menunjukkan bekal yang dimiliki, yaitu kesiapan materi untuk membina keluarga baru”, lanjut bapakku. Penjelasan bapak yang panjang lebar itu semakin menambah deras air mata mbakyuku menetes.

Batinku juga membenarkan penjelasan bapakku itu. Dalam masyarakat yang serba homogen, persyaratan semacam itu wajar. Bukankah burung-burung bersayap sama, sebaiknya terbang bersama? Pasangan dari latar belakang yang sama kemungkinan akan menjauhkan dari kegagalan.

Rupanya bapakku jauh-jauh hari sudah menerima pinangan dari keluarga jauh kami. Jadilah mbakyuku diperistri laki-laki yang masih di garis lingkaran keluargaku. Mungkin bibit dan bebetnya benar, tapi tidak untuk bobot. Meski sudah tinggal di rumah sendiri di Sala, setiap akhir bulan dengan bercucuran air mata, mbakyuku pulang. Bersimpuh di pangkuan Simbok. Setelah itu, beberapa hari kemudian bapakku menyuruh Lik Arja, salah satu abdi Bapakku, mengantar pulang mbakyuku. Mbakyu pulang diantar Lik Arja sekaligus membawa beras, gula dan bahan-bahan kebutuhan lainnya. Aku yakin mbakyuku juga disangoni uang yang cukup untuk hidup barang sebulan. Entah sampai kapan perjuangan mbakyuku itu akan berakhir.....

Oh ya, namaku sama sekali bukan Kondung. Namaku Darto, Sudarto. Kenapa adik perempuanku memanggilku dengan sebutan Mas Kondung? Ceritanya begini, dulu setiap aku pulang dari bepergian, entah itu dari sekolah, main dan entah dari mana lagi, selalu saja simbok mengajari adikku itu untuk menyambutku. Memang simbok selalu mengajari anak-anaknya untuk menyambut setiap bagian dari keluarganya yang baru datang dari bepergian. Ajaran itu kata Simbok adalah sebagai ungkapan rasa peduli terhadap keluarga. “Itu, Mas kondur”.... . kata simbok kala itu sambil menyuruh adikku berlari menghampiriku. Kondur dalam bahasa Jawa halus berarti pulang. Nah, semenjak itu setiap aku pulang dari bepergian, adikku selalu berlari ke arahku sambil teriak, “Mas Kondung!”. Itulah, dari lidah cedal adikku, kondur jadi kondung, terpatrilah pakem di otaknya bahwa aku adalah seorang kangmas baik hati yang namanya Kondung! Sejak saat itu aku punya nama panggilan itu. Panggilan di antara orang-orang terdekatku.

Panggilan adikku itu, mata berbinar-binarnya, kaki sempoyongannya ketika berlari, kecerewetannya, laksana medan magnet yang selalu menarikku kembali ke dekatnya kala aku berada di tempat yang jauh dari rumah. Sifat suka mengembaraku, ditambah keadaan tetangga-tetanggaku yang begitu memprihatinkan, membuat aku ingin sekali menemukan hal-hal baru. Aku ingin menuntut ilmu setinggi mungkin meskipun harus pergi jauh dari kampung halamanku. Jauh dari orang-orang yang sangat aku cintai. Setiap kali pula ketika hasrat itu muncul, lekas-lekas padam tersiram bayangan mungil adik perempuanku!

... Belanda menyerah kepada Jerman,  pemerintah Belanda melarikan diri ke London. Pemerintah Hindia Belanda menyatakan keadaan darurat masa perang. Warga Jerman di Hindia Belanda ditempatkan di ...

Sayup aku dengar lagi berita dari radio di dalam rumahku, radio kesayangan bapakku yang mirip lemari pakaianku itu.