Rabu, 19 Desember 2012

Sebuah Novel


BAB I
Mas Kondung


1940-an. Menjelang senja, pelan aku kayuh Humber Ladys Coventry, sepeda perempuan model Beeston buatan Inggris tahun 1930. Sepeda yang didapat bapakku dari seorang perempuan tangguh. Bu Warni, perempuan paruh baya yang masih dari garis familiku itu pekerjaannya berdagang berbagai macam perhiasan dan batik. Bu Warni terkenal dengan sebutan para, sebutan untuk orang yang pekerjaannya menjual berlian. Tetapi tak jarang dia mau mencarikan barang-barang lain selain perhiasan jika orang-orang membutuhkan. Sepeda itu telah beberapa tahun ini menemaniku menyusuri jalan-jalan, mengantarku ke tempat-tempat di mana aku mengasah jiwa, sebagai bekal dalam mengarungi hidup ini.



Di sisi kiri jalan yang aku lalui, kulihat beberapa penduduk desa saling bercengkerama dengan tetangganya di emperan rumah mereka. Bapak-bapak mulai memasang lampu minyak sebagai penerang di jalan depan rumah-rumah mereka. Lampu-lampu yang digantung di sebatang bambu itu kelihatan indah ketika malam menjemput. Meski jaraknya tidak sama antara lampu satu dengan lampu yang lain, tetapi karena dilihat memanjang, kebetulan jalan dekat rumahku itu lurus agak panjang, nampaklah rapi berjajar kerlap-kerlip lampu itu. Beberapa ibu membawa piring yang terbuat dari seng, sambil berteriak kepada anak mereka yang sedang disuapi.”Ayooo, habiskan maemnya dulu Le...”, teriak seorang ibu sambil mengejar anaknya yang kelihatannya susah makan. Sesekali aku tersenyum kepada mereka. 

Di sisi kanan, terhampar persawahan luas kering kerontang yang menjadi tempat untuk menggembalakan ternak. Tempat yang sekaligus menjadi arena bermain mereka. Anak-anak kurus bertelanjang dada itu, berlarian tertawa-tawa saling canda. Sebagian mengais-ngais lobang memanjang rekahan tanah kering mencari jangkrik yang bersembunyi di situ. Anak-anak itu memang suka memelihara jangkrik untuk diadu. Meski hanya untuk kesenangan, adu jangkrik itu bisa ramai sekali. Begitu ramainya sampai jangkrik-jangkrik itu masing-masing diberi nama julukan. Terutama jangkrik yang seringkali memenangi aduan. Ada yang diberi nama Gajahmada, Ken Arok, Jaka Tinggkir dan sebagainya. Bahkan ada jangkrik yang diberi nama Nero, nama kaisar Romawi yang terkenal kejam itu. Jangkrik itu berwarna merah kayak sinyo-sinyo yang sering kami lihat di Kawedanan. Karena itulah kenapa si pemilik jangkrik itu memberi nama jangkriknya Nero. Mungkin di benaknya semua orang luar negeri itu sinyo Belanda, termasuk si Nero itu...Ha..ha..ha..

Burung-burung jalak hitam sibuk mencari makan di punggung-punggung kerbau, asik masyuk menikmati lezat kutu kebo-kebo ternak itu. Anak-anak itupun tidak mengusik keberadaan burung jalak itu. Seolah mereka tahu bahwa burung-burung itu bermanfaat bagi ternak mereka. Entah sesungguhnya mereka paham apa tidak. Di awang-awang, serombongan burung sriti bercanda menghabiskan waktu sebelum senja meninabobokan mereka. Sementara di dahan-dahan pohon trembesi di kedua sisi jalan pertengahan sawah, prenjak-prenjak riang menyanyi. Bukan nyanyian yang mengabarkan bahwa sebentar lagi akan ada tamu yang datang. Prenjak-prenjak lincah itu menyanyi untuk diri mereka sendiri. Nyanyian penghantar istirahat agar esok hari bisa bernyanyi lagi.

Di lahan persawahan yang agak jauh, terlihat lambaian serumpunan pohon tebu milik perkebunan pemerintah Belanda yang menyewa tanah sawah petani. Kebun tebu, mengingatkanku ketika aku seusia anak-anak itu. Setengah mati mengumpulkan keberanian. Menanti terlenanya si penjaga kebun tebu yang sebutannya sebe. Setelah peluang itu aku dapatkan, secepat angin aku masuk ke kebun tebu itu dan mencuri beberapa batang tebu. Pulang dengan seikat batang tebu lewat pintu belakang rumah. Di sana telah menunggu bapak dengan muka dingin. “Sini..!”, kata Bapak sambil melambaikan tangan agar aku mendekat. Akupun mendekat. Tanpa ngomong sepatah katapun, bapak mengambil tebu-tebu itu dari gendonganku. Dengan sabit yang telah ada di tangannya lalu, “Cras...cras....cras...” Tak lama, batang-batang tebu itu sudah berubah menjadi kepingan-kepingan kecil. “Buang!” perintah bapak kepadaku. Di tangan bapak masih tersisa setengah batang tebu, kira-kira panjangnya sedhepa. “Ini buatmu, bakar dulu biar tidak batuk....” Sebenarnya ingin aku membuang sekalian sisa batang tebu itu bersama kepingan-kepingan tebu tadi. Rasa tebu yang telah dibakar itu bikin aku mau muntah. Tetapi aku tidak mempunyai cukup nyali untuk sekedar meminta ijin membuangnya, takut dikira membangkang. Terpaksa aku menuruti kemauan Bapak, yang pada akhirnya aku harus menguatkan syaraf-syaraf di kepalaku untuk menahan rasa mau muntah itu.

Sesekali aku menghindari debu musim kemarau, debu yang diterbangkan oleh pedati-pedati petani yang membawa berbagai sayuran. Beraneka macam sayur yang ditumpuk di atas jerami-jerami sisa panen padi. Debu itu membuat kerongkonganku kering dan mata menjadi merah. Bapak-bapak petani dengan caping kecil nampak saling bergegas menuju rumah masing-masing. Ada yang searah denganku dan ada yang berlawanan arah denganku. “Mangga Den...,” sapa bapak-bapak yang berpapasan arah denganku. Mereka menyapaku sambil tangannya mengangkat caping mereka, sebagai tanda menghormat kepadaku. Aku tersenyum sambil mengangguk. Mereka memang sangat menghormati bapakku sebagai kepala desa yang telah mengayomi mereka selama berpuluh-puluh tahun, sehingga hal-hal menyangkut bapakku mereka sangat menaruh hormat. Termasuk kepadaku.

...even after the Netherlands had been taken over by Nazi Germany, the Dutch still held onto their colonies. For over a year and a half, the Netherlands East Indies government continued to rule over Indonesia. Efforts by Indonesian activists to organize self-rule were... 

Lamat-lamat aku mendengar berita dari stasiun radio Solose Radio Vereneging, yang lebih sering disingkat SRV, stasiun siaran radio pertama kali yang didirikan bumi putera anggota Nivira, Netherland Indice Vereneging Radio Amateur, sebuah perkumpulan radio amatir milik pemerintah Belanda. Dari penggalan berita itu aku merasakan bahwa kedudukan Belanda semakin terjepit, namun Belanda masih berusaha untuk bisa menguasai negaraku. Perasaanku juga mengatakan bahwa akan terjadi perubahan besar di bumi pertiwiku ini.

 “Mas Kondung....Mas Kondung...Horeeee.... Mas Kondung...!”. Seperti biasa, adik perempuanku yang berumur 3 tahun girang bukan kepalang menyambut kedatanganku sore itu. Selalu saja mengguratkan perasaan haru gembira setiap mendengar celoteh itu, meskipun aku alami hampir setiap sore, kecuali pada hari minggu. Selalu saja perasaan itu tanpa dikomando bergulir di lubuk hatiku begitu saja. Adikkupun berlari ke arahku, aku bopong dia, aku dudukkan di sadel sepedaku. Akupun pindah ke boncengan belakang. Satu tangan memegangi adikku, satu memegangi stang sepeda, aku genjot sepedaku berkeliling halaman untuk menyenangkan hati adikku. Mata adikku berbinar-binar memandangi apa saja yang ada di sekitar situ, seolah mau berteriak, “Kangmasku yang paling baik... kangmasku yang sangat menyayangiku....kangmasku akan selalu menjagaku, menjaga dengan segenap kasihnya....” Sungguh, binar kedua bola mata adik perempuanku itu ketika menatapku menyiramkan beribu-ribu rasa bahagia...beribu asa, entah asa apa. Aku sangat yakin kelak itu adalah asa yang akan sangat membahagiakan kami....ah.

Saudaraku tidak hanya adik perempuanku Darni itu saja. Aku punya satu kakak perempuan namanya Yu Darti. Dia sudah berumah tangga dan sudah tinggal di rumahnya sendiri di Sala, dan di atas adik perempuanku itu masih ada lagi dua adik laki-lakiku, Darno dan Daryo. Ragilkah adik perempuanku itu? Bukan! Di bawah adik perempuanku itu masih ada satu lagi adikku yang masih bayi merah, laki-laki namanya Darwo. Ini yang bungsu.

Kasihan kakak perempuanku itu. Dulu, dia mempunyai teman sekolah yang mau mengambil dia sebagai istri. Kakakku satu itu memang cantik sekali. Temannya itu anak seorang pedagang yang terkenal cukup berada. Keluarganya membuka rumah makan di Sala. Rumah makan itu terkenal menjadi langganan orang-orang Belanda dan pribumi-pribumi kaya keluarga Keraton Kasunan Surakarta. Bapakku tidak setuju, karena bapak teman mbakyuku itu mempunyai dua istri. “Buah itu tidak jauh jatuhnya dari pohonnya Ndhuk....” demikian kata Bapak saat itu. Bapak menerangkan panjang lebar untuk mencari alasan pembenaran dari pendapatnya itu. Menurut Bapak, agar menjadi calon pasangan yang baik harus memperhatikan bibit, bebet, dan bobot.

“Bukan bermaksud membeda-bedakan Ndhuk”, terang Bapak.

Bibit adalah asal-usul keturunan. Orang tua selalu ingin memastikan bahwasannya calon menantunya adalah dari keluarga baik-baik. Bebet adalah asah-asih-asuh yang diperoleh dari lingkungan terdekatnya, yang kelak akan membantu membentuk budi pekerti. Sedangkan bobot menunjukkan bekal yang dimiliki, yaitu kesiapan materi untuk membina keluarga baru”, lanjut bapakku. Penjelasan bapak yang panjang lebar itu semakin menambah deras air mata mbakyuku menetes.

Batinku juga membenarkan penjelasan bapakku itu. Dalam masyarakat yang serba homogen, persyaratan semacam itu wajar. Bukankah burung-burung bersayap sama, sebaiknya terbang bersama? Pasangan dari latar belakang yang sama kemungkinan akan menjauhkan dari kegagalan.

Rupanya bapakku jauh-jauh hari sudah menerima pinangan dari keluarga jauh kami. Jadilah mbakyuku diperistri laki-laki yang masih di garis lingkaran keluargaku. Mungkin bibit dan bebetnya benar, tapi tidak untuk bobot. Meski sudah tinggal di rumah sendiri di Sala, setiap akhir bulan dengan bercucuran air mata, mbakyuku pulang. Bersimpuh di pangkuan Simbok. Setelah itu, beberapa hari kemudian bapakku menyuruh Lik Arja, salah satu abdi Bapakku, mengantar pulang mbakyuku. Mbakyu pulang diantar Lik Arja sekaligus membawa beras, gula dan bahan-bahan kebutuhan lainnya. Aku yakin mbakyuku juga disangoni uang yang cukup untuk hidup barang sebulan. Entah sampai kapan perjuangan mbakyuku itu akan berakhir.....

Oh ya, namaku sama sekali bukan Kondung. Namaku Darto, Sudarto. Kenapa adik perempuanku memanggilku dengan sebutan Mas Kondung? Ceritanya begini, dulu setiap aku pulang dari bepergian, entah itu dari sekolah, main dan entah dari mana lagi, selalu saja simbok mengajari adikku itu untuk menyambutku. Memang simbok selalu mengajari anak-anaknya untuk menyambut setiap bagian dari keluarganya yang baru datang dari bepergian. Ajaran itu kata Simbok adalah sebagai ungkapan rasa peduli terhadap keluarga. “Itu, Mas kondur”.... . kata simbok kala itu sambil menyuruh adikku berlari menghampiriku. Kondur dalam bahasa Jawa halus berarti pulang. Nah, semenjak itu setiap aku pulang dari bepergian, adikku selalu berlari ke arahku sambil teriak, “Mas Kondung!”. Itulah, dari lidah cedal adikku, kondur jadi kondung, terpatrilah pakem di otaknya bahwa aku adalah seorang kangmas baik hati yang namanya Kondung! Sejak saat itu aku punya nama panggilan itu. Panggilan di antara orang-orang terdekatku.

Panggilan adikku itu, mata berbinar-binarnya, kaki sempoyongannya ketika berlari, kecerewetannya, laksana medan magnet yang selalu menarikku kembali ke dekatnya kala aku berada di tempat yang jauh dari rumah. Sifat suka mengembaraku, ditambah keadaan tetangga-tetanggaku yang begitu memprihatinkan, membuat aku ingin sekali menemukan hal-hal baru. Aku ingin menuntut ilmu setinggi mungkin meskipun harus pergi jauh dari kampung halamanku. Jauh dari orang-orang yang sangat aku cintai. Setiap kali pula ketika hasrat itu muncul, lekas-lekas padam tersiram bayangan mungil adik perempuanku!

... Belanda menyerah kepada Jerman,  pemerintah Belanda melarikan diri ke London. Pemerintah Hindia Belanda menyatakan keadaan darurat masa perang. Warga Jerman di Hindia Belanda ditempatkan di ...

Sayup aku dengar lagi berita dari radio di dalam rumahku, radio kesayangan bapakku yang mirip lemari pakaianku itu.

0 komentar:

Posting Komentar