BAB I
Mas Kondung
1940-an.
Menjelang senja, pelan aku kayuh Humber Ladys Coventry,
sepeda perempuan model Beeston buatan Inggris tahun 1930.
Sepeda yang didapat
bapakku dari seorang perempuan tangguh. Bu Warni, perempuan
paruh baya yang masih dari garis familiku itu pekerjaannya berdagang berbagai
macam perhiasan dan batik. Bu Warni terkenal
dengan sebutan para, sebutan untuk
orang yang pekerjaannya menjual berlian. Tetapi tak jarang dia mau mencarikan
barang-barang lain selain perhiasan jika orang-orang membutuhkan. Sepeda itu telah beberapa tahun
ini menemaniku menyusuri jalan-jalan, mengantarku ke tempat-tempat di mana aku mengasah jiwa, sebagai bekal dalam mengarungi hidup ini.
Di sisi
kiri jalan yang aku lalui, kulihat beberapa penduduk desa saling bercengkerama dengan tetangganya di emperan
rumah mereka. Bapak-bapak mulai
memasang lampu minyak sebagai penerang di jalan depan rumah-rumah mereka. Lampu-lampu yang
digantung di sebatang bambu itu kelihatan indah ketika malam menjemput. Meski
jaraknya tidak sama antara lampu satu dengan lampu yang lain, tetapi karena
dilihat memanjang, kebetulan jalan dekat rumahku itu lurus agak panjang, nampaklah
rapi berjajar kerlap-kerlip lampu itu. Beberapa ibu membawa piring yang terbuat
dari seng, sambil berteriak kepada anak mereka yang sedang disuapi.”Ayooo,
habiskan maemnya dulu Le...”, teriak seorang ibu sambil mengejar anaknya yang
kelihatannya susah makan. Sesekali aku tersenyum kepada mereka.
Di sisi
kanan, terhampar persawahan luas kering kerontang yang
menjadi tempat untuk menggembalakan ternak. Tempat yang sekaligus
menjadi arena bermain mereka. Anak-anak kurus bertelanjang
dada itu, berlarian tertawa-tawa saling canda. Sebagian mengais-ngais lobang memanjang
rekahan tanah kering mencari jangkrik yang bersembunyi di situ. Anak-anak itu memang
suka memelihara jangkrik untuk diadu. Meski hanya untuk kesenangan, adu
jangkrik itu bisa ramai sekali. Begitu ramainya sampai jangkrik-jangkrik itu
masing-masing diberi nama julukan. Terutama jangkrik yang seringkali memenangi
aduan. Ada yang diberi nama Gajahmada, Ken Arok, Jaka Tinggkir dan sebagainya.
Bahkan ada jangkrik yang diberi nama Nero, nama kaisar Romawi yang terkenal kejam
itu. Jangkrik itu berwarna merah kayak sinyo-sinyo yang sering kami lihat di
Kawedanan. Karena itulah kenapa si pemilik jangkrik itu memberi nama jangkriknya
Nero. Mungkin di benaknya semua orang luar negeri itu sinyo Belanda, termasuk si
Nero itu...Ha..ha..ha..
Burung-burung jalak hitam sibuk mencari makan di
punggung-punggung kerbau, asik masyuk menikmati
lezat kutu kebo-kebo ternak itu. Anak-anak itupun tidak
mengusik keberadaan burung jalak itu. Seolah mereka tahu bahwa burung-burung
itu bermanfaat bagi ternak mereka. Entah sesungguhnya mereka paham apa tidak. Di
awang-awang, serombongan burung sriti bercanda menghabiskan waktu sebelum senja
meninabobokan mereka. Sementara di dahan-dahan pohon trembesi di kedua sisi
jalan pertengahan sawah, prenjak-prenjak riang menyanyi. Bukan nyanyian yang mengabarkan
bahwa sebentar lagi akan ada tamu yang datang. Prenjak-prenjak lincah itu
menyanyi untuk diri mereka sendiri. Nyanyian penghantar istirahat agar esok
hari bisa bernyanyi lagi.
Di lahan
persawahan yang agak jauh, terlihat lambaian serumpunan pohon tebu milik
perkebunan pemerintah Belanda yang menyewa tanah sawah petani. Kebun tebu,
mengingatkanku ketika aku seusia anak-anak itu. Setengah mati mengumpulkan
keberanian. Menanti terlenanya si penjaga kebun tebu yang sebutannya sebe. Setelah peluang itu aku dapatkan,
secepat angin aku masuk ke kebun tebu itu dan mencuri beberapa batang tebu.
Pulang dengan seikat batang tebu lewat pintu belakang rumah. Di sana telah menunggu
bapak dengan muka dingin. “Sini..!”, kata Bapak sambil melambaikan tangan agar
aku mendekat. Akupun mendekat. Tanpa ngomong sepatah katapun, bapak mengambil
tebu-tebu itu dari gendonganku. Dengan sabit yang telah ada di tangannya lalu,
“Cras...cras....cras...” Tak lama, batang-batang tebu itu sudah berubah menjadi
kepingan-kepingan kecil. “Buang!” perintah bapak kepadaku. Di tangan bapak
masih tersisa setengah batang tebu, kira-kira panjangnya sedhepa. “Ini buatmu,
bakar dulu biar tidak batuk....” Sebenarnya ingin aku membuang sekalian sisa
batang tebu itu bersama kepingan-kepingan tebu tadi. Rasa tebu yang telah dibakar
itu bikin aku mau muntah. Tetapi aku tidak mempunyai cukup nyali untuk sekedar meminta
ijin membuangnya, takut dikira membangkang. Terpaksa aku menuruti kemauan Bapak,
yang pada akhirnya aku harus menguatkan syaraf-syaraf di kepalaku untuk menahan
rasa mau muntah itu.
Sesekali
aku menghindari debu musim kemarau, debu yang diterbangkan oleh pedati-pedati
petani yang membawa berbagai sayuran. Beraneka macam
sayur yang ditumpuk di atas jerami-jerami sisa panen padi. Debu itu
membuat kerongkonganku kering dan mata menjadi merah. Bapak-bapak petani dengan caping kecil nampak
saling bergegas menuju rumah masing-masing. Ada yang searah denganku dan ada
yang berlawanan arah denganku. “Mangga
Den...,” sapa bapak-bapak yang
berpapasan arah denganku. Mereka menyapaku sambil
tangannya mengangkat caping mereka, sebagai tanda menghormat kepadaku. Aku
tersenyum sambil mengangguk. Mereka memang sangat menghormati bapakku sebagai kepala
desa yang telah mengayomi mereka selama berpuluh-puluh tahun,
sehingga hal-hal menyangkut bapakku mereka sangat menaruh hormat.
Termasuk kepadaku.
...even after the Netherlands had
been taken over by Nazi Germany, the Dutch still held onto their colonies. For
over a year and a half, the Netherlands East Indies government continued to
rule over Indonesia. Efforts by Indonesian activists to organize self-rule were...
Lamat-lamat aku mendengar
berita dari stasiun radio Solose
Radio Vereneging, yang lebih sering
disingkat SRV, stasiun siaran
radio pertama kali yang didirikan bumi putera anggota Nivira, Netherland Indice
Vereneging Radio Amateur, sebuah perkumpulan radio amatir milik pemerintah
Belanda. Dari penggalan berita itu aku merasakan bahwa kedudukan Belanda
semakin terjepit, namun Belanda masih berusaha untuk bisa menguasai negaraku.
Perasaanku juga mengatakan bahwa akan terjadi perubahan besar di bumi pertiwiku
ini.
“Mas Kondung....Mas Kondung...Horeeee.... Mas Kondung...!”.
Seperti biasa, adik perempuanku yang berumur 3 tahun girang bukan kepalang
menyambut kedatanganku sore itu. Selalu saja mengguratkan perasaan haru gembira
setiap mendengar celoteh itu, meskipun aku alami hampir setiap sore, kecuali pada
hari minggu. Selalu saja perasaan itu tanpa dikomando bergulir di lubuk hatiku
begitu saja. Adikkupun berlari ke arahku, aku bopong dia, aku dudukkan di sadel
sepedaku. Akupun pindah ke boncengan belakang. Satu tangan memegangi adikku,
satu memegangi stang sepeda, aku genjot sepedaku berkeliling halaman untuk
menyenangkan hati adikku. Mata adikku berbinar-binar memandangi apa saja yang
ada di sekitar situ, seolah mau berteriak, “Kangmasku yang paling baik... kangmasku
yang sangat menyayangiku....kangmasku akan selalu menjagaku, menjaga dengan
segenap kasihnya....” Sungguh, binar kedua bola mata adik perempuanku itu
ketika menatapku menyiramkan beribu-ribu rasa bahagia...beribu asa, entah asa
apa. Aku sangat yakin kelak itu adalah asa yang akan sangat membahagiakan
kami....ah.
Saudaraku tidak hanya
adik perempuanku Darni itu saja. Aku punya satu kakak perempuan namanya Yu
Darti. Dia sudah berumah tangga dan sudah tinggal di rumahnya sendiri di Sala,
dan di atas adik perempuanku itu masih ada lagi dua adik laki-lakiku, Darno dan
Daryo. Ragilkah adik perempuanku itu? Bukan! Di bawah adik perempuanku itu
masih ada satu lagi adikku yang masih bayi merah, laki-laki namanya Darwo. Ini
yang bungsu.
Kasihan kakak
perempuanku itu. Dulu, dia mempunyai teman sekolah yang mau mengambil dia
sebagai istri. Kakakku satu itu memang cantik sekali. Temannya itu anak seorang
pedagang yang terkenal cukup berada. Keluarganya membuka rumah makan di Sala.
Rumah makan itu terkenal menjadi langganan orang-orang Belanda dan
pribumi-pribumi kaya keluarga Keraton Kasunan Surakarta. Bapakku tidak setuju,
karena bapak teman mbakyuku itu mempunyai dua istri. “Buah itu tidak jauh
jatuhnya dari pohonnya Ndhuk....”
demikian kata Bapak saat itu. Bapak menerangkan panjang lebar untuk mencari alasan
pembenaran dari pendapatnya itu. Menurut Bapak, agar menjadi
calon pasangan yang baik harus memperhatikan bibit, bebet, dan bobot.
“Bukan bermaksud membeda-bedakan Ndhuk”, terang
Bapak.
“Bibit adalah asal-usul keturunan. Orang tua selalu ingin
memastikan bahwasannya calon menantunya
adalah dari keluarga baik-baik. Bebet
adalah asah-asih-asuh yang diperoleh dari lingkungan terdekatnya, yang kelak akan membantu membentuk budi pekerti. Sedangkan bobot menunjukkan bekal yang dimiliki, yaitu kesiapan materi untuk membina keluarga baru”, lanjut bapakku. Penjelasan
bapak yang panjang lebar itu semakin menambah deras air mata mbakyuku menetes.
Batinku juga membenarkan
penjelasan bapakku itu. Dalam masyarakat yang serba homogen, persyaratan semacam itu wajar.
Bukankah burung-burung bersayap sama,
sebaiknya terbang bersama? Pasangan dari latar
belakang yang sama kemungkinan akan menjauhkan dari kegagalan.
Rupanya bapakku
jauh-jauh hari sudah menerima pinangan dari keluarga jauh kami. Jadilah
mbakyuku diperistri laki-laki yang masih di garis lingkaran keluargaku. Mungkin
bibit dan bebetnya benar, tapi tidak untuk bobot. Meski sudah tinggal di rumah sendiri di Sala, setiap akhir bulan
dengan bercucuran air mata, mbakyuku pulang. Bersimpuh di pangkuan Simbok. Setelah
itu, beberapa hari kemudian bapakku menyuruh Lik Arja, salah satu abdi Bapakku,
mengantar pulang mbakyuku. Mbakyu pulang diantar Lik Arja sekaligus membawa
beras, gula dan bahan-bahan kebutuhan lainnya. Aku yakin mbakyuku juga disangoni uang yang cukup untuk hidup
barang sebulan. Entah sampai kapan perjuangan mbakyuku itu akan berakhir.....
Oh ya, namaku
sama sekali bukan Kondung. Namaku Darto, Sudarto. Kenapa adik perempuanku
memanggilku dengan sebutan Mas Kondung? Ceritanya begini, dulu setiap aku
pulang dari bepergian, entah itu dari sekolah, main dan entah dari mana lagi,
selalu saja simbok mengajari adikku itu untuk menyambutku. Memang simbok selalu
mengajari anak-anaknya untuk menyambut setiap bagian dari keluarganya yang baru
datang dari bepergian. Ajaran itu kata Simbok adalah sebagai ungkapan rasa peduli
terhadap keluarga. “Itu, Mas kondur”....
. kata simbok kala itu sambil menyuruh adikku berlari menghampiriku. Kondur dalam bahasa Jawa halus berarti
pulang. Nah, semenjak itu setiap aku pulang dari bepergian, adikku selalu
berlari ke arahku sambil teriak, “Mas Kondung!”. Itulah, dari lidah cedal
adikku, kondur jadi kondung, terpatrilah
pakem di otaknya bahwa aku adalah seorang kangmas baik hati yang namanya
Kondung! Sejak saat itu aku punya nama panggilan itu. Panggilan di antara
orang-orang terdekatku.
Panggilan adikku itu,
mata berbinar-binarnya, kaki sempoyongannya ketika berlari, kecerewetannya, laksana medan
magnet yang selalu menarikku kembali ke dekatnya kala aku berada di tempat yang
jauh dari rumah. Sifat suka mengembaraku, ditambah keadaan tetangga-tetanggaku yang
begitu memprihatinkan, membuat aku ingin sekali menemukan hal-hal baru. Aku ingin
menuntut ilmu setinggi mungkin meskipun harus pergi jauh dari kampung halamanku.
Jauh dari orang-orang yang sangat aku cintai. Setiap kali pula ketika hasrat
itu muncul, lekas-lekas padam tersiram bayangan mungil adik perempuanku!
... Belanda menyerah kepada
Jerman, pemerintah
Belanda melarikan diri ke London. Pemerintah Hindia Belanda menyatakan keadaan darurat masa
perang.
Warga Jerman di
Hindia Belanda ditempatkan
di ...
Sayup aku dengar lagi
berita dari radio di dalam rumahku, radio kesayangan bapakku yang mirip lemari
pakaianku itu.
0 komentar:
Posting Komentar