“Di jaman ini, masih mengharap keperawanan? Haiyah!!” Meski
diungkapkan setengah guyonan, nelangsa mendengarnya. Jaman memang telah
sedemikian dahsyat kemajuannya, sehingga cenderung lebih meletakkan
kepentingan-kepentingan praktis daripada memikirkan ribetnya tetek bengek yang
sekiranya bisa dipangkas. Dipangkas meski dengan kompensasi pengingkaran
nurani. Salah satunya adalah masalah rusaknya selaput pada alat vital perempuan
yang disebabkan benturan benda tumpul tadi. Rusak sebelum dirusak oleh yang
berhak merusak, kelak. Seolah menjadi sangat ‘ganjil’, jika dalam usia tertentu
masih saja bertahan perawan, sehingga sangat pantas ditertawakan. Sekaligus sebagai
sebuah ‘legitimasi’ tindakan rusak-merusak sebelum waktunya. Duh!
Di belahan bumi lain, mungkin perawan tidak perawan bukan masalah
yang dianggap serius. Tunggang-menunggang antara laki-laki dan perempuan tanpa
balutan legalisasi relijius bukan merupakan sebuah perkara yang membebani hati.
Tapi, Sang Khalik mempunyai parameter sendiri untuk menguji kualitas ketakwaan
umatnya. Hingga semua menjadi ‘terhubung’, saling melengkapi untuk mencari tahu
kuatnya kesungguhan kita dalam menjalani peran keimanan masing-masing di peradaban
yang sangat majemuk ini. Hal yang wajar di sana, mungkin tidak wajar di sini,
dan sebaliknya, hal yang wajar di sini, mungkin adalah godaan di sana. Itulah
seninya Tuhan dalam mengevaluasi, kemudian menentukan prestasi kumulatif pelajaran
hidup umatnya!
Matanya bening, sebening namanya, Bunga. Perempuan belasan
tahun itu, usianya masih menyandang predikat sebagai pelajar. Meski secara de jure, kini sudah tidak ada lagi selembar dokumenpun yang menyatakan dia
sebagai pelajar. Lahir dan berkembang di sebuah daerah pegunungan jauh dari
hingar bingar ‘gebyar kehidupan’. Secara ‘geografis’ tempat tumbuh kembangnya seharusnya
lebih dekat dengan tempaan norma-norma tatanan hidup. Hingga diharapkan lebih
peka dalam mencecap kebaikan dan meludahkan ketidakbaikan.
Sebenarnya otaknya cukup encer dalam usahanya memahami cara
bertahan hidup pada era ‘persaingan global’ ini. Apa lacur, waktu yang
seharusnya digunakan untuk mengisi kepala dan hati dengan bekal untuk masa
hidupnya kelak, disikapinya dengan picik. Diawali dengan wiraswasta tubuh
sendiri, lalu berkembang dengan membentuk ‘badan usaha’ dengan memajang
‘etalase syahwat’. Lima anak ingusan masuk dalam jaringan usahanya. Selain
sebagai pelaku, kini Bunga juga merangkap sebagai vendor layanan pemuas hasrat itu.
Dia perkenalkan teman-teman anggota jaringannya kepada para lelaki hidung
belang. Entah sengaja mempersiapkan diri dari jerat hukum dengan memutus mata
rantai pada proses ‘mengenalkan’, atau gagasan itu baru muncul ketika jerat itu
telah membelenggunya. Yang jelas dia mati-matian menolak dituduh ‘menjual’, serta
bersikukuh hanya ‘mengenalkan’. Dan jika hubungan berlanjut dengan main
kuda-kudaan, itu urusan alat kelamin masing-masing ... lumayan pinter yah?
Luar biasa hebat jaman ini. Memungkinkan Bunga untuk
menerapkan ‘manajemen bisnis’ dengan media komunikasi dan strategi pemasaran
yang jitu. Yang membuat menganga mulut para penjual keliling yang
mempertaruhkan seluruh isi perutnya untuk berjalan dari rumah ke rumah
menawarkan dagangannya. Bisa dibayangkan jika Bunga masih menerapkan strategi
konvensional. Tentu tubuh mulusnya akan tercabik-cabik oleh cakar ibu-ibu yang
anak perjakanya menjadi konsumennya. Atau bisa jadi rusak wajah cantiknya
disiram air keras oleh para istri yang suaminya asyik beresek-esek muncrat
dengannya. Di tanah kelahirannya, hampir seluruh orang se-kecamatan saling
mengenal satu dengan lainnya!
Dan lembaga tempat dia menuntut ilmu? Sigap menyatakan Bunga
adalah ‘oknum’ sebelum menjatuhkan fatwa haram bagi Bunga untuk diakui sebagai peserta
didiknya. “Kami adalah sebuah wadah yang sedikit banyak turut membentuk
karakter anak-anak kami. Dengan kelalaian ini, kami meminta maaf dan ke
depannya kami berjanji untuk lebih memperhatikan anak-anak kami ...” Itu adalah
oase penyejuk yang masih sebatas angan, meski sekedar diucapkan.
Maaf kita sama-sama tersesat ...
0 komentar:
Posting Komentar