Selasa, 18 Desember 2012

Maaf, ... Kita Sama-sama Tersesat




“Di jaman ini, masih mengharap keperawanan? Haiyah!!” Meski diungkapkan setengah guyonan, nelangsa mendengarnya. Jaman memang telah sedemikian dahsyat kemajuannya, sehingga cenderung lebih meletakkan kepentingan-kepentingan praktis daripada memikirkan ribetnya tetek bengek yang sekiranya bisa dipangkas. Dipangkas meski dengan kompensasi pengingkaran nurani. Salah satunya adalah masalah rusaknya selaput pada alat vital perempuan yang disebabkan benturan benda tumpul tadi. Rusak sebelum dirusak oleh yang berhak merusak, kelak. Seolah menjadi sangat ‘ganjil’, jika dalam usia tertentu masih saja bertahan perawan, sehingga sangat pantas ditertawakan. Sekaligus sebagai sebuah ‘legitimasi’ tindakan rusak-merusak sebelum waktunya. Duh!

Di belahan bumi lain, mungkin perawan tidak perawan bukan masalah yang dianggap serius. Tunggang-menunggang antara laki-laki dan perempuan tanpa balutan legalisasi relijius bukan merupakan sebuah perkara yang membebani hati. Tapi, Sang Khalik mempunyai parameter sendiri untuk menguji kualitas ketakwaan umatnya. Hingga semua menjadi ‘terhubung’, saling melengkapi untuk mencari tahu kuatnya kesungguhan kita dalam menjalani peran keimanan masing-masing di peradaban yang sangat majemuk ini. Hal yang wajar di sana, mungkin tidak wajar di sini, dan sebaliknya, hal yang wajar di sini, mungkin adalah godaan di sana. Itulah seninya Tuhan dalam mengevaluasi, kemudian menentukan prestasi kumulatif pelajaran hidup umatnya!

Matanya bening, sebening namanya, Bunga. Perempuan belasan tahun itu, usianya masih menyandang predikat sebagai pelajar. Meski secara de jure, kini sudah tidak ada lagi selembar dokumenpun yang menyatakan dia sebagai pelajar. Lahir dan berkembang di sebuah daerah pegunungan jauh dari hingar bingar ‘gebyar kehidupan’. Secara ‘geografis’ tempat tumbuh kembangnya seharusnya lebih dekat dengan tempaan norma-norma tatanan hidup. Hingga diharapkan lebih peka dalam mencecap kebaikan dan meludahkan ketidakbaikan.

Sebenarnya otaknya cukup encer dalam usahanya memahami cara bertahan hidup pada era ‘persaingan global’ ini. Apa lacur, waktu yang seharusnya digunakan untuk mengisi kepala dan hati dengan bekal untuk masa hidupnya kelak, disikapinya dengan picik. Diawali dengan wiraswasta tubuh sendiri, lalu berkembang dengan membentuk ‘badan usaha’ dengan memajang ‘etalase syahwat’. Lima anak ingusan masuk dalam jaringan usahanya. Selain sebagai pelaku, kini Bunga juga merangkap sebagai vendor layanan pemuas hasrat itu. Dia perkenalkan teman-teman anggota jaringannya kepada para lelaki hidung belang. Entah sengaja mempersiapkan diri dari jerat hukum dengan memutus mata rantai pada proses ‘mengenalkan’, atau gagasan itu baru muncul ketika jerat itu telah membelenggunya. Yang jelas dia mati-matian menolak dituduh ‘menjual’, serta bersikukuh hanya ‘mengenalkan’. Dan jika hubungan berlanjut dengan main kuda-kudaan, itu urusan alat kelamin masing-masing ... lumayan pinter yah?

Luar biasa hebat jaman ini. Memungkinkan Bunga untuk menerapkan ‘manajemen bisnis’ dengan media komunikasi dan strategi pemasaran yang jitu. Yang membuat menganga mulut para penjual keliling yang mempertaruhkan seluruh isi perutnya untuk berjalan dari rumah ke rumah menawarkan dagangannya. Bisa dibayangkan jika Bunga masih menerapkan strategi konvensional. Tentu tubuh mulusnya akan tercabik-cabik oleh cakar ibu-ibu yang anak perjakanya menjadi konsumennya. Atau bisa jadi rusak wajah cantiknya disiram air keras oleh para istri yang suaminya asyik beresek-esek muncrat dengannya. Di tanah kelahirannya, hampir seluruh orang se-kecamatan saling mengenal satu dengan lainnya!

Dan lembaga tempat dia menuntut ilmu? Sigap menyatakan Bunga adalah ‘oknum’ sebelum menjatuhkan fatwa haram bagi Bunga untuk diakui sebagai peserta didiknya. “Kami adalah sebuah wadah yang sedikit banyak turut membentuk karakter anak-anak kami. Dengan kelalaian ini, kami meminta maaf dan ke depannya kami berjanji untuk lebih memperhatikan anak-anak kami ...” Itu adalah oase penyejuk yang masih sebatas angan, meski sekedar diucapkan.

Seluruh sendi kehidupanpun, seolah adalah sebuah koridor menuju satu dimensi ruang. Kenikmatan! Begitu mudah kita mentahbiskan kata ‘oknum’ jika ada borok moral yang terungkap. Tanpa sediikitpun usaha menyisipkan niat untuk sekedar menengok wadah yang  telah membentuk ‘oknum’ itu. Di seluruh sendi kehidupan!!

Maaf kita sama-sama tersesat ...

0 komentar:

Posting Komentar