Sabtu, 15 Desember 2012

Perempuanku, Aku Beli Kemaluanmu ...



 
Sepasang payudara yang belum tuntas menyembul dari balik seragam sekolah. Setangkup bibir yang masih hangat meninggalkan jejak kala selesai menghapal pelajaran sejarah. Dua bola mata berbinar kala tangan menggenggam uang jajan beberapa rupiah. Itu adalah kalkulasi-kalkulasi bromocorah syahwat. Penabuh genderang tarian nafsu yang bersemayam di balik kuasanya.
“Ndhuk, boleh aku bicara kepadamu? Apakah aku bisa memilikimu dengan apa yang akan kutawarkan kepadamu?” “Eit, tidak usah buru-buru dijawab”. “Aku hanya ingin kau sedikit mikir, butuh berapa tahun kamu sekolah untuk dapat memiliki apa yang sekarang ini bisa kau miliki? Butuh berapa lama lagi kau harus membanting kesabaranmu hanya untuk dapat memiliki apa yang detik ini juga dapat kau miliki? Sampai terkencing-kencing mustahil dapat kau wujudkan Ndhuk ... hehehe ... tolong di sela-sela saat kau isi PR matematikamu, kau pikirkan hal ini juga ...”
Dua mata itu, kini menyulam sebuah kebimbangan. Ketidakmengertian. Dua payudara itu, kini berguncang tak keruan menahan detak jantung merencam. Mengiring sebuah nyanyian yang melenakan sepasang pendengaran. Hingga sempena menjelang di pintu hari. Tak ada tujuan yang sanggup berbicara. Sayup terdengar bisik indah di tengah malam, “Kêlèk-kêlèk biyung sirå ånå ngêndi ... énggal tulungånå, anakmu kêcêmplung warih ...” Bulan tersenyum, merasa tunai sudah temani anak perawan itu pulang ke sarangnya. Tempat perlindungannya. Bapa biyungnya!
“Itu adalah berkah Sang Hyang Widhi atas jalanmu Ndhuk!” Mata sang biyung membelalak hebat mendengar derai celoteh anak perawannya. Benaknya saat itu laksana mesin pencetak berkecepatan 34 ppm dokumen monokrom. Dokumen berisi rencana-rencana anggaran hasil pengorbanan anaknya kelak. Sejurus kemudian suaranya tercekat. Kakinya diinjak sang bapa. Dengan kerling setengah “melotot”, dia tahan ‘kegirangan’ sang belahan hati. “Ndhuk, semua itu terserah kepadamu ...” katanya “bijak”. “Bapak dan ibumu hanya bisa merestui  kehendakmu ...”
Rembulan beringsut di balik kabut. Menangis, dan hanya bisa terbaring pada rumpang-rumpang malam. “Setan alas, akhirnya kegelapan berpulang pada kegelapan!” makinya. “Sampai ke mana guratan pandang ini?” “Sampai berapa lama setelah selaput dara itu terkoyak?” Sang rembulan pun terdiam, menunggu di selaput bumi ...

0 komentar:

Posting Komentar