Sepasang payudara yang belum tuntas menyembul dari balik
seragam sekolah. Setangkup bibir yang masih hangat meninggalkan jejak kala selesai
menghapal pelajaran sejarah. Dua bola mata berbinar kala tangan menggenggam uang
jajan beberapa rupiah. Itu adalah kalkulasi-kalkulasi bromocorah syahwat. Penabuh
genderang tarian nafsu yang bersemayam di balik kuasanya.
“Ndhuk, boleh aku bicara kepadamu? Apakah aku bisa
memilikimu dengan apa yang akan kutawarkan kepadamu?” “Eit, tidak usah
buru-buru dijawab”. “Aku hanya ingin kau sedikit mikir, butuh berapa tahun kamu
sekolah untuk dapat memiliki apa yang sekarang ini bisa kau miliki? Butuh
berapa lama lagi kau harus membanting kesabaranmu hanya untuk dapat memiliki
apa yang detik ini juga dapat kau miliki? Sampai terkencing-kencing mustahil dapat
kau wujudkan Ndhuk ... hehehe ... tolong di sela-sela saat kau isi PR
matematikamu, kau pikirkan hal ini juga ...”
Dua mata itu, kini menyulam sebuah kebimbangan. Ketidakmengertian.
Dua payudara itu, kini berguncang tak keruan menahan detak jantung merencam. Mengiring
sebuah nyanyian yang melenakan sepasang pendengaran. Hingga sempena menjelang
di pintu hari. Tak ada tujuan yang sanggup berbicara. Sayup terdengar bisik
indah di tengah malam, “Kêlèk-kêlèk biyung sirå ånå ngêndi
... énggal tulungånå, anakmu kêcêmplung warih ...” Bulan
tersenyum, merasa tunai sudah temani anak perawan itu pulang ke sarangnya. Tempat
perlindungannya. Bapa biyungnya!
“Itu adalah berkah Sang Hyang Widhi atas jalanmu Ndhuk!”
Mata sang biyung membelalak hebat mendengar derai celoteh anak perawannya. Benaknya
saat itu laksana mesin pencetak berkecepatan 34 ppm dokumen monokrom. Dokumen
berisi rencana-rencana anggaran hasil pengorbanan anaknya kelak. Sejurus
kemudian suaranya tercekat. Kakinya diinjak sang bapa. Dengan kerling setengah “melotot”,
dia tahan ‘kegirangan’ sang belahan hati. “Ndhuk, semua itu terserah kepadamu
...” katanya “bijak”. “Bapak dan ibumu hanya bisa merestui kehendakmu ...”
Rembulan beringsut di balik kabut. Menangis, dan hanya
bisa terbaring pada rumpang-rumpang malam. “Setan alas, akhirnya kegelapan
berpulang pada kegelapan!” makinya. “Sampai ke mana guratan pandang ini?” “Sampai
berapa lama setelah selaput dara itu terkoyak?” Sang rembulan pun terdiam,
menunggu di selaput bumi ...
0 komentar:
Posting Komentar