Saya adalah pelaku pena berasal dari sebuah kota budaya kecil Surakarta Jawa Tengah Indonesia. Tertarik pada sebuah sisi kehidupan dari peradaban ini.
Di samping itu, karena latar belakang pendidikan saya di Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Inggris Universitas Sebelas Maret Surakarta, saya juga terlibat dalam kegiatan menerjemahkan Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia dan sebaliknya.
Blog ini adalah salah satu wahana di mana saya menumpahkan segala gagasan dan ketertarikan saya kepada kehidupan ini.
Jika Anda tertarik untuk berinteraksi lebih jauh dengan saya, silakan terlibat dalam kehidupan saya. ( jasa terjemahan online ) di: 0271-5884647 a.n Agus Sulistyo


Jumat, 11 Januari 2013

Ujung Lorong



 
Jangan sekali-kali berbicara kejantanan di depanku. Karena itu berarti ribuan jarum berebut masuk ke telingaku. Satu suara mengiris kulitku. Suara-suara berikutnya merajam setiap jengkal tubuhku. Sementara orang lain tertawa di hangatnya selimut dongeng bapaknya. Aku sibuk menyembunyikan tangis di hatiku. Sementara bapak mereka adalah pelaku dongeng yang gagah. Aku sibuk mereka-reka gambar wajah bapakku. Aku bahkan sibuk berusaha untuk dapat merasakan denyut jantung bapakku. Hingga aku ada pada titik paling sunyi. Menggigil dalam sepi. Lautan di depanku. Aku terdiam. Orang-orang melambai ke arahku. Aku tak yakin lagi bahwa itu adalah aku.

“Nama bapakmu siapa?” tanya Pak Mursidi, guru SD-ku. Aku terdiam. Selalu begitu.

“Bapaknya PKI Pak ...” celutuk salah seorang temanku. “Hahaha ...” disusul suara tawa teman-teman sekelasku yang lain. Semakin membuat aku terdiam.  Aku tertunduk. Kusembunyikan wajahku di atas meja. Berbantal kedua tanganku yang terlipat di atas meja tempat dudukku itu. Air mata meleleh di kedua pipiku membasahi tanganku. Tubuhku bergetar, tersia-siakan. Seolah tanpa penghuni di dalamnya. Pak Mursidi memegang kepalaku sebentar. Mengusapnya, lalu berlalu kembali ke depan kelas. Pak Mursidi, yang aku harapkan mau membela diriku itu, tidak berkata apa-apa. Seolah dia ikut membenarkan perlakuan teman-temanku terhadapku. Aku benar-benar tidak mengerti apa itu PKI. Yang aku rasakan hanyalah bahwa PKI itu sebuah aib seaib-aibnya. Lebih menjijikkan daripada kelakuan buruk apapun di muka jagad ini. 

“Benteng ...” aku tergagap. Kuangkat kepalaku. Mata nanarku terbentur pada satu wajah. Teman sekelasku juga. Perempuan. Maryam namanya. “Ketiduran ya?” sapanya lagi. Aku mencoba tersenyum ke arahnya. Memang begitu. Seringkali aku ketiduran ketika menangis di kelas. Teman-temanku tak mengusikku lagi. Mungkin menjadi lebih baik bagi mereka tidak melihat wajahku. Daripada harus menahan kebencian mereka menyaksikan keturunan PKI. Aku mendengar suara jendela ditutup. Jendela-jendela ruang kelasku yang mulai ditutup oleh Pak Ranto. Penjaga sekolah.

Tanpa banyak patahan kata yang keluar, kami berdua pulang bersama. Baru saja kaki melangkah dari pintu kelas, tiba-tiba serombongan teman sekelasku muncul dari samping pintu. “Wah ... dua orang aneh lewat ... Ha ha ha ...” tawa merekapun mengiringi kepulangan kami berdua. Aku dan Maryam terus berjalan. Dengan kepala tertunduk.

Satu-satunya orang yang mau berteman denganku memang hanya Maryam. Nasib dia tidak lebih baik daripada aku. Keluarganya dikucilkan orang sekampung. Malah, pernah suatu saat rumah Maryam mau dibakar. Kata orang-orang kampung itu, orangtua Maryam memelihara pesugihan. Waktu ada anak kecil di dekat rumah Maryam meninggal, orang-orang kampung menuduh orangtua Maryamlah penyebabnya. Kata mereka, anak kecil itu mati sebagai tumbal pesugihan orangtua Maryam. Maryam hanya terdiam di sudut halaman rumahnya. Air matanya mungkin sudah bosan mengalir di kedua pipinya yang tembem. Aku berdiri di sampingnya. Tidak ada kata-kata. Namun bahasa tubuh kami sudah saling memahami. Sorot mata kami sudah saling menguatkan. Untunglah Pak Lurah saat itu berhasil meredakan kemarahan warga. Akhirnya kedua orangtua Maryam disumpah pocong di mesjid kampung kami ...

“Le ...” suara ibuku membuyarkan lamunanku. Pandangan kami beradu. Di mataku tergambar sosok perempuan yang sangat aku cintai. Di mata ibuku, tergambar rasa iba terhadap darah dagingnya. Yang pasti dari mata kami terpancar rasa saling memiliki. Satu-satunya yang kami miliki. Dulu masih ada Maryam di antara kami. Aku sama sekali tidak menyangka kalau bapaknya Maryam tega merenggut satu-satunya hati yang kumiliki itu. Satu-satunya yang dimiliki Maryam juga. Aku sangat tidak menyangka, kebersamaan nasib sedikitpun tidak mampu menggeser jalan hidupku.

“Maafkan Ibu ya Le ...” Aku tersenyum ke arahnya. “Jaman sudah berubah Le, mungkin saatnya kamu tahu siapa bapakmu ... setelah sekian lama”, kata Ibu.

“Sudahlah Ibu, apalah gunanya ... toh semua tak dapat berubah, semudah perubahan jaman ini ...” kataku pasrah.

“Tigapuluh lima tahun yang lalu ... ibu dan bapakmu diterima bekerja di Pos Telegraf dan Telepon di sebuah kota kecamatan di Surabaya ...” kata ibuku tanpa menghiraukan keberatanku.

“Ketika diterima di jawatan itu tahun nempuluh, aku dan bapakmu disodori formulir keanggotaan Serikat Buruh Pos Telegraf dan Telepon oleh kepala jawatan kami. Hampir seluruh pegawai menjadi anggota serikat buruh itu ...”

“Saat itu, aku dan bapakmu setuju saja. Perasaan Ibu waktu itu, serikat buruh itu semacam kerukunan  untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai. Membantu menangani masalah yang dihadapi pegawai. Ada juga iuran anggota. Waktu itu besarnya seringgit atau dua setengah rupiah tiap bulan, dipotong dari gaji Ibu” lanjut ibu mengenang.

Kulihat tipis airmata ibu mulai menutupi selaput matanya.

“Serikat buruh itu memang berafiliasi ke Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia. Meski tak ada hubungan langsung  secara struktural organisasi, pada masa Orba SOBSI dikait-kaitkan dengan Partai Komunis Indonesia Le ...

Aku peluk Ibu erat ketika kulihat kaca-kaca di matanya mulai jatuh ke lantai rumah. “Sudahlah Ibu ...” 

“Ketika usiamu setahun. Setelah peristiwa nempuluh lima, semua pegawai di-screening”. Waktu itu saya dan Pak Marsam bapakmu terus terang apa yang sebenarnya kami alami. Waktu mereka tanya ‘saudara anggota SB?’ saya jawab: ya. ‘saudara pernah ikut rapat SB? Saya jawab ‘Tidak pernah.’ Ibu tidak tahu apa yang dikatakan bapakmu Le ... setelah itu mereka membawa bapakmu. Sampai sekarang ...”, memelas sekali suara ibu.

Beberapa saat hening. Ibu melepaskan pelukanku. Di saat itu juga tiba-tiba kedua mata ibuku memancarkan sebuah keteguhan. Sebuah kewibawaan yang mengiringi kata-kata yang keluar dari mulutnya kemudian.
“Jaman sudah berubah Le ... ada lorong hidup yang bisa kau lalui. Jalanmu masih panjang. Pergilah, cari Maryam. Biar Ibu hadapi bapaknya”, dalam sekali suara ibuku saat itu. Tanpa senyum. Tanpa ada pancaran kesedihan!

Dan saat itu tiba-tiba aku temukan apa yang selama ini aku cari! Sangat aku rindukan. Sebuah sikap kejantanan. Aku merasakan apa yang hilang dari diriku memancar keluar dari sorot mata ibuku. Meski aku tak tak yakin itu bisa mengisi jiwaku yang terlanjur kosong. Mengembalikan milikku yang telah mereka renggut. Setidaknya saat itu ada sebuah penutan untuk bisa bersikap sebagai lelaki. Yang selama hampir empatpuluh tahun perjalanan hidupku, tidak pernah bisa aku temukan.

Hiruk pikuk di luar, yang meneriakkan kata-kata demokrasi itu sama sekali tidak aku hiraukan. Pandanganku lurus ke depan. Menatap ujung lorong yang akan aku lalui. Berharap bayangan Maryam kutemui di sana.


Solo, Jan ‘12

Rabu, 09 Januari 2013

Tanpa Judul



Seorang ‘filsuf’ pendidikan bersabda:

“Pilihan sekolah itu seperti memilih telepon seluler. Pilih BlackBerry atau Nokia 3110? Tentu ada kualitas ada harga dong ..." “RSBI dirancang untuk mengejar ketertinggalan pendidikan global ... Semua materi pelajaran disampaikan dalam Bahasa Inggris, kecuali mata pelajaran Bahasa Indonesia, agar siswa kelak dapat bersaing di level internasional ...” Wuih!

Kami  hanya tertawa. Kali ini benar-benar tertawa.

 Dan kami tidak bilang “Modar ... !” ketika kami mendengar sekolah mahal ‘milik kami’ itu difatwa ‘haram’ oleh MK. Karena mereka terlalu pintar berkelit di balik sebuah istilah. Banyak jalan menuju ke muara yang sama. Kelas terunggul, kelas terpadu, kelas terseksi, kelas terbahenol, dan kelas-kelas yang lain yang semakin mengukuhkan kelas kami sendiri ..., kelas terkere... hehehe (tapi jiwa kami sama sekali tidak kere!). Jangankan untuk memilih ‘Nokia 3110’, uang saku saja kadang hanya restu harapan kebaikan dari orangtua.

“Kekuatan yang kami miliki adalah doa dan sikap penyerahan diri sepenuhnya ... “
“Namun, belajar kami tetap. Tetap semangat!”

Jayalah Indonesia di masa yang akan datang.